
“Seberapa banyak sih penyanyi klasik Indonesia yang kamu tahu?” Sebagian besar orang barangkali akan mengernyitkan dahi sebelum menjawab, sebagian lainnya barangkali dapat menyebut beberapa nama seperti Aning Katamsi dan Julius Firdaus. Selebihnya lagi? Barangkali menjawab tidak tahu saja.
Premis di atas bisa menjadi gambaran singkat mengenai betapa rendahnya pengetahuan masyarakat terhadap penyanyi klasik. Padahal, ada banyak sekali penyanyi tenar saat ini yang memiliki root klasik. Hanya saja, mereka tidak dapat lagi bertahan dengan root klasiknya, sebab pasar mainstream sampai saat ini belum menyediakan tempat bagi penyanyi klasik dan karya-karyanya.
Daniel Reza Adriansyah, salah satu guru vokal di Sekolah Musik KITA Anak Negeri, berpendapat bahwa hal ini disebabkan paradigma bahwa seorang penyanyi klasik, ketika ingin memasuki ranah mainstream mesti menanggalkan root klasiknya itu sendiri. Root klasik seorang penyanyi dapat menjadi bekal idealismenya ketika bermusik, sedangkan pada industri musik mainstream, idealisme cenderung dinomorduakan di bawah permintaan pasar.
Menurut Daniel, sudah sewajarnya penyanyi klasik yang ingin terjun ke musik mainstream untuk melakukan hal ini. Menggeluti musik mainstream berarti sudah sadar betul dengan konsekuensi-konsekuensi yang ada. Yang salah satunya adalah meninggalkan root genre yang barangkali sudah dipelajari sejak dini. “Nggak bisa idealis,” katanya melalui percakapan telepon pada Rabu (29/3) sore.

Mari ambil contoh dari kasus Isyana Sarasvati. Ia adalah penyanyi yang sejak kecil sudah bergelut dalam musik klasik. Sebagai seorang soprano berbakat serba bisa, Isyana harusnya sudah terjamin memiliki karir yang bagus di ranah musik klasik. Namun, ternyata Isyana lebih memilih terjun ke musik pop. Musik mainstream. Dan benar saja, atribut klasik yang melekat padanya, ia tanggalkan.
Menurut Daniel, Isyana kebetulan mendapat produser yang lihai. Produser yang mampu menciptakan konsep bermusik dan ciri lagu yang sesuai dengan karakter Isyana yang mengakar pada klasik. Karakter Isyana ini kemudian direkayasa sedemikian rupa agar menjadi modal terciptanya persona panggung yang baru. Jadilah Isyana yang sama-sama kita ketahui kini; penyanyi pop serba bisa dengan lagu-lagu yang super-catchy.
Isyana adalah contoh baik yang bisa ditiru oleh anak-anak sekolah vokal beraliran klasik yang ingin menjamah pasar mainstream. Sikapnya yang tidak kolot dalam bermusik telah membawanya menjadi salah satu penyanyi wanita paling diidolakan saat ini. Ilmu yang ia dapat sebelum menjadi penyanyi pop adalah alasan atas kesuksesannya kini, karena musik klasik mengajarkan dasar-dasar bermusik yang dapat ia gunakan untuk menggeluti genre musik apa saja. “Apapun jenis musik yang dipelajari akan kepake. Guru-guru di sekolah (musik) selalu mengajarkan yang basic,” terang Daniel.
Sumber foto : https://www.instagram.com/isyanasarasvati/, https://www.facebook.com/daniel.r.adriansyah
Baca Juga

Tulisan blog oleh kepala divisi piano klasik, Ananda Sukarlan. Jadi ingat kata-kata Gus Dur yang memorable itu: “Gitu aja kok ribut”. Itu yang terjadi setelah saya nge-tweet (eh apa nge-X

Sobat KlasiKITA, hari Minggu 27 Agustus lalu, KITA menyaksikan langsung konser dari Piano & Co, sebuah sekolah musik pimpinan Angelica Liviana yang akrab disapa Kak Livi. Penampilan siswa Piano &

Out of the night that covers me, Black as the pit from pole to pole, I thank whatever gods may be For my unconquerable soul. Invictus adalah puisi yang ditulis

Sobat KlasiKITA, komposer asal Amerika Nancy Van de Vate, yang menjadi warga negara Austria, pendiri League of Women Composers, meninggal tanggal 29 Juli lalu pada usia 92 tahun di Wina,