
Sudah menjadi sebuah kenyataan yang mungkin terlewat dari benak banyak penggemar musik, bahwa skena indie cenderung menyediakan ruang bagi musisi-musisi yang memiliki pendekatan musik unorthodox. Baik dari segi genre yang diusung, gaya penulisan lirik, strukturisasi lagu, dan lain sebagainya.
Setidaknya di Indonesia, polarisasi antara pasar mainstream dan sidestream terciri dari (salah satunya) genre musik. Pasar mainstream, dari setidaknya dua dekade lalu, sudah berkutat dengan genre musik pop. Meski dalam perkembangannya sampai hari ini, ‘pop’ di pasar mainstream itu sendiri mengalami pergeseran tren dari waktu ke waktu. Hanya saja, pergeserannya tidak pernah jauh-jauh, selalu ada di dalam koridor musik pop yang menjadi bagian dari arus budaya populer.
Menurut seorang sosiolog asal Jerman, Theodor W. Adorno (dalam Strinati: 1995), budaya populer adalah sesuatu yang ‘dipaksakan’ kepada masyarakat oleh penguasa industri budaya, dalam hal ini penguasa industri musik mainstream. Tanpa disadari, selera dan preferensi masyarakat terhadap musik adalah sebuah bentukan. Musik yang kita anggap bagus dan dapat diterima adalah sebuah wacana yang kita adopsi dari narasi propaganda alam bawah sadar kita.
Dalam permasalahan ini, Nukie Nugroho selaku salah seorang pegiat musik indie punya pendapatnya sendiri. Pria yang bernama-panggung Kakanuks ini memang tidak pernah kehabisan uneg-uneg kalau sudah membahas musik indie.
Menurut Nukie, Proses ini terjadi setiap saat tanpa kita sadari. Meski begitu, dalam konteks yang lebih kentara, bentuk manipulasi ini justru terlihat minim. Nukie mencontohkan, dalam pasar mainstream, musisi tidak melulu mendapatkan pembatasan ruang gerak oleh label atau produser musiknya dalam membuat karya. Tidak seperti yang dipahami oleh kebanyakan orang yang menganggap pembatasan dan intervensi dalam proses kreatif sudah menjadi kelaziman di pasar mainstream.
“Jadi ada yang namanya produser, dalam hal ini musik produser. Nah, perannya produser dalam proses kreatif suatu band itu beda-beda. Ada yang dia ikut awal dari mentah si bandnya bikin lagu, ada yang ngritisin aransemen dan part-partnya aja, ada juga yang cuman moles-moles dan ngasih layer aja di lagunya untuk mempercantik karyanya,” terang Nukie melalui pesan chat pada Selasa (28/3) petang.

Dari aspek ini, dapat dilakukan perbandingan dengan cara sebuah karya diproduksi dalam skena indie (sidestream). Ukuran tim manajemen pada produksi musik indie cenderung lebih minimalis dibanding major label. Sehingga, pengaruh yang dapat diberikan dalam proses kreatif musisi pun lebih minim. “Dari hal ini pun, memungkinkan efisien dan juga manuver-manuver yang ekstrim dari pegiat indie dan juga mereka yang tim manajemennya minimalis,” kata Nukie.
Menurut guru gitar klasik di Sekolah Musik KITA Anak Negeri ini, kebebasan yang dirasakan akibat minimalisnya ukuran tim manajemen ini dapat juga dirasakan musisi yang bernaung di major label. Hanya saja, pada major label, hal ini ditentukan dari perjanjian kontrak yang sudah disepakati di awal antara pemusik dan label. Ini juga yang menjadi perbedaan antara indie dan major label, di mana dalam musik indie, hampir selalu memiliki tim manajemen yang berukuran kecil, sedangkan pada major label besar/kecilnya tim manajemen ditentukan oleh kesepakatan kontrak.
“Dinaungi label yang multi nasional gitu tentunya jadi punya jangkauan dong ke massa dan media yang sebelumnya belum terjangkau,” jelasnya menerangkan bahwa pada akhirnya dari segi distribusi, major label tetap lebih menjanjikan.
Dengan skema penguasaan pasar seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya, menjadi sebuah pemakluman apabila pegiat indie sekarang harus mau repot-repot untuk memasarkan karyanya. Pegiat indie mesti memiliki inisiatif yang tinggi, baik dari soal bermusik sampai hal-hal di luar musik agar karyanya dapat sampai ke telinga pendengar secara massal. Triknya, menurut Nukie adalah konsistensi dalam bermain live di panggung dan promosi di sosial media. “Apalagi video-video Youtube yang berkualitas ya, kalo ada video yang viral biasanya bisa macu orang buat pengen nonton kita live-nya,” pungkas Nukie.
Sumber referensi :
Strinati, Dominic. 2004. An Introduction to Theories of Popular Culture. London: Routledge
Sumber foto :
https://www.instagram.com/noockienu/
pinterest.com
Baca Juga

Tulisan blog oleh kepala divisi piano klasik, Ananda Sukarlan. Jadi ingat kata-kata Gus Dur yang memorable itu: “Gitu aja kok ribut”. Itu yang terjadi setelah saya nge-tweet (eh apa nge-X

Sobat KlasiKITA, hari Minggu 27 Agustus lalu, KITA menyaksikan langsung konser dari Piano & Co, sebuah sekolah musik pimpinan Angelica Liviana yang akrab disapa Kak Livi. Penampilan siswa Piano &

Out of the night that covers me, Black as the pit from pole to pole, I thank whatever gods may be For my unconquerable soul. Invictus adalah puisi yang ditulis

Sobat KlasiKITA, komposer asal Amerika Nancy Van de Vate, yang menjadi warga negara Austria, pendiri League of Women Composers, meninggal tanggal 29 Juli lalu pada usia 92 tahun di Wina,