Profesi bukan hanya guru, dokter, atau birokrat pemerintah. Musisi pun juga adalah sebuah profesi, yang seperti profesi-profesi tadi, juga memiliki kaidah-kaidah professionalitas sendiri. Kepopuleran musik sebagai sebuah profesi barangkali masih kalah tenar dibandingkan profesi-profesi sebelumnya, untuk itulah sebuah pemahaman akan hakikat ini perlu dibangun.
Syamsul Rizal Ikhwan, salah satu instruktur kelas Cello di Lembaga Pendidikan Musik (LPM) KITA Anak negeri, berpendapat bahwa dahulu, bermusik belum menjadi kegiatan mencari nafkah yang menggiurkan. Namun, semakin berkembangnya zaman dan cara pandang masyarakat, juga berkat banyaknya alternatif fokus kerja dalam bermusik seperti menjadi player, pencipta musik (musisi), komposer, pengajar, dan yang lainnya, bermusik pun mulai dilihat sebagai sebuah bidang yang menjanjikan. “… bermusik adalah kegiatan yang membutuhkan ilmu dan ketrampilan yang cukup; dan bahwa produknya adalah industri musik yang berkualitas. Itu hanya dapat dikerjakan dan dihasilkan oleh sosok2 yg profesional. Pada titik ini, jelaslah bahwa musisi adalah sebuah profesi,” terang pria yang biasa disapa Syamsul ini saat diwawancarai melalui pesan chat pada Rabu (26/4) siang.
Lantas, secara profesional, apa pertimbangan yang jelas agar seseorang dapat disebut sebagai seorang pemusik? Apakah sekadar menggonjreng gitar sampai menelurkan sebaris melodi orisinil buatan sendiri, yang notabene adalah kegaiatan musisi, sudah menjadikanmu sebagai orang yang berprofesi sebagai seorang musisi? “Betul bahwa aktifitas-aktifitas musikal yang dilakukan itu adalah merupakan ciri yang menunjukkan bahwa seseorang adalah pemusik atau musisi,” kata pria yang bergelar Sarjana Seni ini. Namun, lebih dari itu Syamsul menjelaskan bahwa yang pantas disebut pemusik profesional adalah mereka yang terus-menerus merawat, mengembangkan, dan memperbarui permainan musik mereka.
Yang disayangkan, masih subur di masyarakat anggapan bahwa bermain musik cuma sekadar kegiatan sampingan yang tidak ditekuni serius. Lebih enak dikatakan hobi yang bisa menghasilkan daripada sebuah pekerjaan nyata. “Anggapan mereka itu berangkat dari pemahaman yang salah. Mereka bilang kita nyari duit dari musik. Tapi pada saat yang sama mereka juga bilang kita gak ada kerjaan. Lucu kan,” ungkap Syamsul, tertawa.
Meski begitu, Syamsul mengaku bahwa pengakuan dari masyarakat bukan masalah utama. Bahkan, bukan masalah sama sekali. “… harapan kita tentu tidak berhenti di situ. Cita-cita kita bukan ingin disebut orang sebagai musisi. Selayaknya kita menggantungkan cita-cita dan harapan bahwa kita ingin mempersembahkan sesuatu kepada khalayak dengan sesedikit apa pun yg kita bisa melalui profesi sebagai musisi,” jelasnya.
Di sisi lain, Syamsul juga berpendapat bahwa pemerintah juga memiliki peran penting dalam upaya pengakuan pemusik sebagai sebuah profesi. Ia mengimbau kepada seluruh pemusik Indonesia untuk menunjukkan potensi yang dimiliki masing-masing. Demi meyakinkan pemerintah bahwa pemusik layak dan mampu hidup. Lebih dari itu, juga mampu memberikan baktinya bagi nusa dan bangsa. “… pemerintah telah membuat atau memberikan peluang yang sangat terbuka kepada para musisi untuk ikut serta dalam memajukan negeri ini di jalur estetika. Terpulang kepada kita para musisi untuk menjaga dan menjalankan amanah itu dengan baik dan berkualitas,” tuturnya.
Syamsul berharap, dengan kesempatan luas yang sudah dimungkinkan zaman kepada para pemusik negeri, baik dari segi teknologi pendukung musik, sarana publikasi, juga pemasaran, pemusik dapat memanfaatkan kemudahan-kemudahan ini dengan sebaik-baiknya. Sambil tentunya, tidak lupa untuk menjaga aspek profesionalitas. “… sambil senantiasa menjalin komunikasi yang baik dengan semua komunitas terkait, agar terbangun suasana yang sehat dalam jalinan kerjasama yang aktif, produktif, dan saling mendukung. Satu lagi, jaga kesehatan lahir-batin!” tutupnya.
Sumber foto : Dok. KITA Anak Negeri dan musicalprom.com