Belakangan ini, Indonesia diramaikan dengan wacana pemboikotan sebuah franchise kedai kopi asal Amerika, Starbucks. Kedai kopi ini diboikot sebagai penolakan atas pernyataan keberpihakan mereka kepada pernikahan sesama jenis. Ribuan netizen meramaikan timeline-nya masing-masing dengan status dukungan maupun penolakan terhadap wacana ini. Mereka yang dari dulu langganan Starbucks, maupun yang bukan bercampur baur mengadu argumen mengenai polemik ini.
Namun, tulisan ini bukan mau membahas wacana pemboikotan Starbucks. Lebih baik, mari kita pahami dulu hakikat dari pemboikotan.
Boikot atau pemulauan, menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) adalah “bersekongkol menolak untuk bekerja sama (berurusan dagang, berbicara, ikut serta, dan sebagainya).” Boikot adalah upaya yang sifatnya memaksa, pada umumnya ditujukan sebagai bentuk protes terhadap sesuatu.
Pro dan kontra yang mengikuti sebuah wacana pemboikotan tidak hanya didasari atas hubungan keterkaitan antara pihak yang mendukung atau menolak dengan objek yang diboikot. Kalau kita memakai contoh Starbucks lagi, mereka yang membela Starbucks bukan berarti mereka suka ngopi-ngopi di sana. Pun, mereka yang mendukung pemboikotan bukan didasari atas ketidaksukaan mereka terhadap kopi racikan Starbucks.
Ibarat di sekolah dulu, jika ada seorang anak yang menjadi korban bullying, seluruh teman sekelas pasti akan membicarakannya. Baik pelaku bullying-nya, yang kasihan padanya, yang membencinya, bahkan yang sama sekali tak pernah berinteraksi dengan anak itu. Mengapa demikian? Sebab, manusia menyukai tragedi. Seperti perkataan Arthur Schopenhauer, “If the immediate and direct purpose of our life is not suffering then our existence is the most ill-adapted to its purpose in the world.”
Seorang anak yang di-bully di kelas akan menghasilkan cerita. Menggugah rasa empati kita, juga menggelitik moralitas kita dalam proses menentukan sikap. Seperti menonton film, kita mampu merasakan pelbagai emosi, meski di saat yang sama, tragedi tersebut bukan diri kita yang mengalami, dan bahkan tak ada hubungannya sama sekali dengan kita.
Pemboikotan dalam industri musik pun bukan barang baru. Kalau berkaca pada yang sudah-sudah, pemboikotan adalah alasan mengapa Lady Gaga batal menggelar konsernya di Jakarta pada tahun 2012 lalu. Sebabnya karena sejumlah ormas dari latar belakang agama tertentu memprotes kedatangan Lady Gaga atas dasar erotisme yang kental dalam penampilannya.
Musisi lokal pun tak luput dari gelombang pemboikotan. Sherina Munaf, mantan penyanyi cilik yang dahulu dicintai semua orang berkat “Petualangan Sherina”, juga pernah diserang wacana pemboikotan gara-gara tweet–nya yang menyambut baik pelegalan pernikahan sesama jenis di Amerika Serikat.
Dalam gagasan pemboikotan, semua karya dan visi bermusik seorang musisi dimentahkan. Pemboikotan terhadap pemusik pada umumnya selalu ditujukan kepada identitas pemusik secara personal, golongan apa yang ia representasikan, ataupun tindakan serta sikap yang diambilnya mengenai suatu persoalan, yang secara praktis, tak ada hubungannya dengan musik.
Sebut saja Lady Gaga, ia kerap dikatakan sebagai penyembah setan dan ikon Illuminati. Hanya saja, tidakkah ada logika yang lebih mendasar mengenai hal ini? Born This Way Tour yang menjadi tajuk konser Lady Gaga di Indonesia diadakan dalam rangka promosi album terbarunya saat itu yang berjudul “Born This Way”, jelas bukan dalam rangka menyebarkan paham satanisme, visi kelompok Illuminati, maupun semacamnya. Memang, konser bisa menjadi sarana penyebaran ide-ide tertentu yang sifatnya terselubung, tetapi tidakkah berlebihan ketika kita melakukan pemboikotan dengan alasan yang terlalu samar buat diidentifikasi seperti itu?
Belakangan ini, terjadi pula gerakan pemboikotan terhadap Radiohead yang ngotot mau menggelar konser di Tel Aviv, Israel. Yang mencetuskan pemboikotan ini adalah sejumlah musisi dan artis pro-Palestina seperti Roger Waters (Pink Floyd), Thurston Moore (Sonic Youth), dan Nick Seymour (Crowded House). Langkah ini sebenarnya tidak mengejutkan mengingat Israel memang menjadi sasaran Boycott, Divestment and Sanctions Movement (BDS Movement), yakni sebuah kampanye global demi menggencet Israel secara ekonomi dan politik, yang didasari atas opresi Israel terhadap rakyat Palestina.
Narasi di atas adalah tanda bahwa pemboikotan terjadi di manapun, dapat dilakukan oleh siapapun, dan didasari oleh alasan apapun. Sesuai perkataan di awal, manusia memang menyukai tragedi. Kita senang membuat-buat perselisihan dengan alasan yang dicari-cari dalam hal yang sekecil apapun. Aktivitas menonton konser dan mendengarkan musik yang sejatinya adalah hiburan di sela-sela rutinitas jadi tidak sesederhana itu lagi.
Sebab, jika lagu enak yang kita dengarkan tiap hari ditulis oleh musisi penyembah setan, rupanya kita wajib menafsirkan semua lagunya sebagai puja-puji buat setan. Jika lagu cinta paling romantis yang kita nyanyikan tiap hari ditulis oleh aktivis pendukung pernikahan sesama jenis, rupanya, kita juga wajib menafsirkan lagu cinta itu sebagai kampanye same-sex marriage. Dan, kalau musisi paling humanis yang kita favoritkan mengadakan konser di sebuah negeri penindas, rupanya, kita juga wajib menafsirkan hal itu sebagai bentuk dukungannya terhadap opresi yang terjadi.
Sungguh, kita memang suka memboikot.