Industri musik Indonesia ditopang oleh beberapa pilar, pemusik sebagai pembuat musik, masyarakat sebagai pendengar, perusahaan musik seperti label sebagai distributor, serta pemerintah sebagai regulator. Perlu ada integrasi yang baik dari kesemua aspek ini agar tercipta realita industri musik yang baik. Mengenai hal ini, Wahyu Prastya selaku Kepala Divisi Drum Sekolah Musik KITA Anak Negeri, memiliki beberapa pendapat.
Dalam koridor aspek-aspek ini, ada banyak sekali fenomena yang bisa digali dari kenyataan industri. Mari berangkat dari fenomena yang paling massal merambah masyarakat belakangan ini, digitalisasi musik. Zaman sekarang siapa yang tidak menikmati musik dari layanan-layanan daring seperti Spotify, iTunes, Soundcloud, Joox, dan lain-lain. Menurut Wahyu, ini adalah perkembangan yang bagus karena pemusik jadi lebih mudah memasarkan karyanya. Meski di sisi lain, memang akan berdampak negatif pada pengusaha rilisan fisik, namun Wahyu berpendapat bahwa pengusaha rilisan fisik mestinya yang beradaptasi dengan perkembangan ini, bukannya perkembangan zaman yang mesti menahan diri demi mereka. “Beradaptasi dan berinovasi, lihat consumer behavior-nya,” ujar Wahyu saat diwawancarai melalui telepon pada Senin (11/4) petang.
Selain itu, ada juga fenomena pembajakan, hal yang tak pernah tak marak sejak dulu. Menurut Wahyu, pembajakan adalah hal yang tak terelakkan. Namun, bagi Wahyu pembajakan terjadi bukan hanya didasari keengganan orang untuk mengeluarkan uang membeli rilisan resmi, melainkan juga karena mentalitas orang kita sebelumnya yang menganggap membeli rilisan fisik sebagai tindakan yang kurang efisien. Sampai sedikitnya satu dekade kebelakang, membeli karya orisinil artinya membeli rilisan fisik resmi. Sedangkan versi bajakan biasanya memiliki dua bentuk alternatif, versi softcopy gratisan dan fisik yang bisa dibeli jauh lebih murah. Mereka yang malas atau tidak punya waktu ke toko CD dan kaset, juga mereka yang tidak memiliki ruang penyimpanan di rumah untuk rilisan fisik yang mereka beli, akhirnya ‘terpaksa’ memilih yang bajakan.
Perusahaan-perusahaan musik pun mulai bisa membaca gejala ini. Mereka mulai menggalakkan digitalisasi musik, seperti yang sudah dijelaskan. Pergeseran ini dilakukan juga didasari mengingkatnya kebutuhan efisiensi masyarakat dalam konsumsi musik mereka.
Kemudian, peran pemerintah sebagai regulator juga sangat sangat penting. Pemerintah memiliki kemampuan untuk mengatur iklim pasar, bagaimana persaingan antar lini, dan bentuk-bentuk dukungan agar pasar tak lesu. Wahyu menilai pemerintah sudah cukup baik memberikan dukungan kepada para musisi Indonesia. Bagaimana Presiden Joko Widodo mau mengundang dan duduk bersama dengan musisi-musisi dalam peringatan Hari Musik Nasional 9 Maret lalu di Istana Negara adalah sebuah bukti bahwa pemerintah memiliki perhatian khusus kepada musisi.
Terlepas dari segala urusan yang masih harus dibenahi, Wahyu menyimpulkan bahwa industri musik Indonesia sedang bergerak ke arah yang jauh lebih baik. “Akan jauh lebih luar biasa banget,” kata pria jebolan Australian Institue of Music ini. Ia juga berpesan agar musisi jangan mudah menyerah dalam berkarya meski menghadapi tantangan-tantangan pasar yang beragam macamnya. “Buat sesuatu yang inovatif, namanya masalah pasti ada. (Yang penting) punya konsistensi, komitmen, dan jujur. Biar kedepannya lebih baik lagi,” tutupnya sore itu.
Sumber foto : https://www.instagram.com/wahyuprastya/ dan http://www.rollingstone.co.id/article/read/2017/03/09/140512305/1093/rayakan-hari-musik-nasional-presiden-jokowi-setuju-musik-indonesia-diputar-seharian-di-radio-tv-mal-kafe