Sejak pertama kalinya menonton konser kak Ananda Sukarlan sekitar 10 tahun lalu sampai sekarang, kami dari KITA Anak Negeri terutama saya cukup terkejut dengan himbauannya kepada penonton sebelum ia mulai main. Ratusan telepon menyala dalam kegelapan, mengubah gedung konser menjadi lautan cahaya handphone. Orang-orang tersebut juga malah diajak untuk menandai (tagging), membagikan, dan mengabadikannya di media sosial. Tidak seperti banyak artis klasik lainnya, kak Ananda tidak melarang ponsel dalam konsernya, malah “secara aktif mendorong” penonton untuk merekam, memotret dan mempostingnya.
Beberapa kali saya mendapat manfaat dari video pertunjukan musik yang direkam lewat smart phone dan diunggah ke internet. Saya jadi bisa menikmati karya yang mungkin belum ada video resminya meskipun tentu saja kualitas gambar dan suara belum terasa optimal.
Namun, terus terang saya sendiri tidak nyaman untuk merekam pertunjukan musik lewat smart phone karena jadi tidak sepenuhnya menikmati apa-apa saja yang saat itu panggung sajikan.
Saya juga merasa kurang nyaman saat penonton di depan saya mengangkat tangannya yang menggenggam smart phone. Pandangan jadi terhalang ditambah silau akibat layar smart phone yang biasanya cukup terang
Baru sekarang KITA ngobrol dengan Ketua Divisi Piano Klasik ini, yang tertawa ketika kami membicarakan urusan handphone ini. Pertanyaan pelik ini telah menjadi perdebatan hangat dalam beberapa minggu terakhir, setelah kejadian di Inggris penyanyi tenor Ian Bostridge berhenti di tengah-tengah konser, karena terganggu oleh rekaman penonton. Ternyata City of Birmingham Symphony Orchestra, tempat dia bernyanyi, baru-baru ini mengubah kebijakannya untuk mengizinkan foto dan pembuatan film dalam konser. Banyak yang mendukung sikap Ian Bostridge yang melarang telepon, termasuk pianis terkemuka Inggris Stephen Hough. Nah, bagaimana menurut kak Ananda?
“Hal terpenting menurutku adalah ini adalah pilihan pribadi dan tergantung pada konteks. Pada akhirnya, keputusan berada di tangan sang performer. Bahkan bagi saya, dalam konteks tertentu akan terasa benar jika mendorong orang untuk merekam video / audio, namun dalam konteks lain hal ini tidak tepat jika itu sampai mengganggu penonton lain, dan saya pikir kita semua dapat menyadari hal tersebut dan terbuka terhadap pendapat satu sama lain,” ujar komponis minggu depan akan memperdanakan karya barunya untuk biola dan piano yang akan diiringi oleh pemain biola muda anggota G20 Orchestra, Aurell Marcella, “Findolandesia” untuk peringatan 70 tahun hubungan diplomatik Finlandia – Indonesia ini.
“Ketika saya memposting di X / Twitter bahwa sudut pandang pribadi saya adalah bahwa saya mendorong orang untuk membuat film dan foto, menurut saya kita tidak harus semua sepakat mengenai hal ini. Menarik sih melihat betapa agresifnya beberapa (tentu tidak semua) orang-orang “klasik”, bahkan di Indonesia juga yang tidak memiliki tradisi pertunjukan musik klasik, dalam ketidaksepakatan mereka. Saya pikir itu menunjukkan bahwa kita masih punya sedikit harapan untuk menjadi demokratis. Kita terus-menerus mempertanyakan, ‘Bagaimana kita bisa mengajak lebih banyak anak muda untuk menonton konser klasik?’ Jika saya menjawab, ‘Ini adalah pilihan yang memungkinkan’, dan kemudian mereka menyangkal, itu agak membuat saya frustrasi.”
KITA bertanya padanya apakah kak Ananda benar-benar percaya bahwa merekam dengan ponsel cukup ampuh untuk meyakinkan seseorang bahwa musik klasik cocok untuk mereka. “Dalam pengalaman pribadi saya, hal ini telah membuat perbedaan besar dalam hal menarik anak-anak muda dan juga penonton baru,” sambung kak Ananda, seraya menambahkan bahwa dia mendengar banyak orang berusia di bawah 30 tahun yang menghadiri konsernya berkat media sosial. “Jika orang didorong untuk membuat film untuk beberapa karya di konser saya dan mempostingnya — hal ini akan membangun rasa kebersamaan dan acara di sekitar konser itu sendiri, yang terus berlanjut di media sosial untuk sementara waktu. Mereka bisa berdiskusi di kolom komentar tentang karya tersebut.” Kak Ananda menolak salah satu kritik yang berulang-ulang bahwa ini semua hanya tentang narsisme. “Anak muda tidak menggunakan TikTok dan Instagram seperti itu,” katanya. “Ini ibarat sebuah lensa, melaluinya mereka dapat melihat dunia. Memposting video suatu peristiwa adalah bagian dari pengalaman dan bahkan bisa jadi dokumentasi sejarah. Itu tidak berarti mereka tidak berkonsentrasi saat menonton. Yang penting kan tidak berisik dan tidak mengganggu tetangga sebelahnya.”
Sebagai seseorang yang tumbuh besar dengan menggunakan media sosial, kak Ananda memahami hal ini dengan baik, dan jika diperbolehkan, dia juga merekam konser yang ia hadiri — meskipun secara diam-diam dengan ponsel dalam keadaan senyap dan level terangnya layar diturunkan.