Sobat KlasiKITA, tanggal 17 Desember nanti ketua divisi piano klasik kita, kak Ananda Sukarlan akan memperdanakan karya barunya, 4 tembang puitik yang diberi judul “Pandemic Poems” di Mitra Hadiprana Boutique Mall, sebuah tempat hangout yang ngehitz kelas atas di bilangan Kemang. Penyanyinya adalah sang prodigy Shelomita Amory yang baru berusia 14 tahun (baca https://www.indonesiakininews.com/2023/11/the-gen-alpha-of-indonesian-classical.html).
Kak Ananda “menemukan” Shelomita yang dengan gemilang memenangkan juara I Ananda Sukarlan Award untuk Vokal Klasik tahun 2023 ini.
Selama pandemi Covid-19, banyak penyair menuangkan perasaan dan metafora ke dalam puisi. Berbagai puisi tersebut seperti mata air yang menyegarkan untuk kak Ananda, komponis yang telah menulis lebih dari 400 tembang puitik sampai saat ini. “Tembang Puitik” adalah istilah yang kini populer mendefinisikan karya-karya vokal klasik yang berdasarkan puisi yang ditulis oleh penyair (bukan oleh sang komponisnya sendiri). Tokoh pelopor tembang puitik adalah Franz Schubert (1797-1828) yang telah menuliskan 700-an tembang puitik (atau “lieder” dalam bahasa Jerman) dari puisi-puisi Johann Wolfgang von Goethe, Friedrich Schiller, Heinrich Heine, dan banyak lagi.
Mumpung kak Ananda sedang ke Depok mengunjungi KITA Anak Negeri untuk mengevaluasi divisi piano klasik, kami dapat kesempatan nih untuk berbincang dengan pianis yang tanggal 17 November lalu dianugerahi penghargaan tertinggi untuk warganegara sipil dari Kerajaan Spanyol, “Real Orden de Oficial de Isabel la Católica”. Simak yuk!
KITA: Seberapa pentingnya puisi itu dalam hidup kita?
AS: Puisi adalah cara kita mendokumentasikan kejadian sejarah. Tapi puisi akan selalu mengena karena puisi berkomunikasi langsung ke tingkat emosional, sedangkan fakta sejarah akan mudah dilupakan kalau hanya dihafal. Karya seni dengan segala metaforanya ini jauh lebih akurat dalam penyampaiannya daripada fakta sejarah yang sering diplintir untuk menguntungkan pihak-pihak tertentu. Nah emosi yang diciptakan oleh puisi ini lebih mudah ditangkap sebagai musik untuk saya. Pandemi ini akan dikenang lewat karya-karya seninya daripada lewat data-data sejarah yang simpang siur di internet.
KITA: Kabarnya anda akan bekerjasama dengan OneRPM?
AS : Betyuuulll! Kalau mau tahu lebih banyak tentang OneRPM, silakan google aja ya. Kami akan release pertama kali dengan tembang puitik saya yang berdasarkan puisi Emily Dickinson, Miguel Cervantes dan Federico Garcia Lorca untuk pasar internasional. Tapi saya sudah ajak Shelomita Amory, soprano keren yang baru berusia 14 tahun itu untuk merekam Pandemic Poems, yaitu empat tembang puitik berdasarkan empat puisi yang ditulis saat pandemi 2020-2022 yaitu “Gugus 1: Pemedis di Garis Depan” (Goenawan Monoharto), “Beda Keyakinan” (Hilmi Faiq), “Setelah Dirumahkan (5)” (Muhammad Subhan) dan diakhiri dengan “Dialog Sesama Virus Korona Tentang Koruptor” (Riri Satria).
KITA: Pandemic Poems. Kenapa judulnya bahasa Inggris?
AS : Sebetulnya tidak perlu juga, saya tadinya berpikir menamakannya “Puisi-puisi pandemi” tapi saya tidak begitu suka pengulangan yang menggambarkan plural sih. Nah saya pikir toh musik adalah bahasa universal. Dengan bertransformasinya puisi menjadi musik, arti dari kata-kata tersebut menjadi sublim. Pendengar yang tidak bisa bahasa Indonesia harusnya akan mengerti esensi dan emosi dari apa yang ingin disampaikan penyair. Ada yang karakternya lucu, seperti puisi Hilmi Faiq dan Riri Satria. Tapi kalau saya bilang ‘lucu’ saja, beda dua puisi ini apa? Nah, setelah saya bikin musik, kita jadi bisa dengarkan bedanya. Puisi Hilmi, “Beda Keyakinan”, lebih sarkastik, ada kepahitan di dalam itu sehingga menghasilkan lebih banyak disonan, sedangkan puisi Riri lebih jenaka. Mungkin karena Riri menggambarkan koruptor, dan koruptor itu sudah dianggap biasa, jenaka, gemoy bahkan santuy, yang sebetulnya mungkin adalah defense mechanism rakyat, daripada ngomel-ngomel ngomongin mereka yang terus merajalela kan?
KITA: Apa yang sebetulnya menarik dari sebuah puisi untuk bisa dijadikan musik?
AS : Kecanggihan sang penyair untuk menciptakan metafora-nya. Metafora adalah teknik psikologis untuk membantu memicu respon emosional pembaca dan mengontrol cara pembaca merasakan apa yang ditulis. Metafora memiliki efek menunjukkan sesuatu dengan memberikan perspektif baru dan memungkinkan penulis menyampaikan gambaran hidup yang melampaui makna literal, menciptakan gambaran yang lebih mudah dipahami dan ditanggapi dibandingkan bahasa harafiah / literal.
Salah satu efek metafora adalah membuat mudah mengingat apa yang ingin disampaikan. Membuat bahasa lebih berwarna dan menarik, mempesona atau sekedar menghibur pembaca, membuat mereka melihat sesuatu dari sudut pandang yang benar-benar baru. Melalui metafora, seorang penulis dapat menciptakan analogi yang unik dan menambahkan tekstur dan ketertarikan pada cara menampilkan sesuatu yang jauh lebih baik daripada deskripsi faktual dengan memberi penulis kemungkinan deskripsi yang lebih kuat.
Efek lain dari metafora pada pembaca adalah menciptakan koneksi dan empati – karena metafora dapat membuat pembaca memahami sesuatu pada tingkat yang lebih dalam daripada deskripsi literal apa pun. Metafora dalam bahasa puisi menarik langsung ke hati, dan salah satu alasan penggunaan metafora adalah untuk menggambarkan hal-hal yang tidak dapat diungkapkan dalam kata-kata atau bahasa biasa. Hal ini juga berkontribusi dalam menciptakan ciri khas dan gaya individual seorang penulis.
KITA: Akankah ada tembang puitik anda berdasarkan puisi-puisi era pandemi berikutnya?
AS : Oh, ada banget. Ini baru empat saja. Bahkan tadi malam saya baru saja membuat dari puisi Ewith Bahar, “Seonggok Bangkai”. Berbagai puisi dan tembang puitik ini semoga akan memberi banyak sudut pandang baru tentang pandemi dan apa yang terjadi saat itu.
KITA: Apa lagi karya di program konser hari Minggu tanggal 17 Desember nanti?
AS : Ada juga pemain biola anggota G20 Orchestra Aghisna Indah Mawarni, dan saya juga akan memainkan beberapa variasi yang virtuosik dari beberapa lagu natal, serta “Variations on Kasih Ibu”, karena sebelum Natal, kita merayakan Hari Ibu loh tanggal 22 Desember kan! O ya, bersama Shelomita kami juga akan menyanyikan 3 tembang puitik dari puisi Emily Dickinson juga.