oleh Ananda Sukarlan
Tahun 1889, gamelan Jawa untuk pertama kalinya dipagelarkan di luar Indonesia, yaitu di Paris Expo. Komponis besar Perancis Claude Debussy (kebetulan?) melihatnya dan berkomentar cukup sadis:
“If one listens to it without being prejudiced by one’s European ears, one will find a percussive charm that forces one to admit that our own music is not much more than a barbarous kind of noise more fit for a traveling circus.” (“Jika seseorang mendengarkannya tanpa prasangka telinga orang Eropa, ia akan menemukan pesona perkusif yang memaksanya untuk mengakui bahwa musik kita sendiri tidak lebih dari jenis suara barbar yang lebih cocok untuk sirkus keliling.”).
Saya yakin Debussy mengacu ke musik populer Eropa saat itu, bukan musik klasik tradisi Johann Sebastian Bach, Beethoven dll.
Tapi memang ucapan itu banyak kebenarannya. Gamelan menawarkan begitu banyak elemen yang asing untuk telinga “Barat”, yaitu sistem urutan nada (yang sebetulnya banyak variasinya ada di dunia barat, seperti Yunani kuno, tapi sudah terlupakan atau tidak diaplikasikan lagi), cara “menumpuk” berbagai melodi dan motif yang tidak melahirkan harmoni / akord melainkan berbagai lapisan untaian nada, bagaimana musik berekspresi secara obyektif dan tidak “romantis” seperti para komponis megalomaniak yang sedang “hitz” saat itu seperti Franz Liszt dan Richard Wagner, serta tentu saja warna suara instrumen gamelan tersebut. Sedangkan “musik kita sendiri” di Eropa yang disebut Debussy itu sesederhana melodi diiringi iringan dengan progresi akord standar yang ritmenya mengundang badan kita untuk menari, paling tidak kaki kita untuk bergoyang.
Sejak mengenal dan mempelajari gamelan itu, Debussy menuliskan karya-karya besarnya di bawah pengaruh kuat gamelan, seperti “Pagodas”, “Bulan Turun di atas puing-puing kuil” dan “Prelude” dari “Suite untuk Piano” yang seringkali bukan bernuansa pentatonik tapi ia mengambil struktur ritmis dan bentuk dari musik gamelan.
Debussy diikuti oleh para komponis lainnya seperti Francis Poulenc (1899-1963) dan kemudian di Inggris Michael Tippett (1905-1998) dan Benjamin Britten (1913-1976) yang kemudian sampai berkelana ke pulau Jawa dan Bali.
Hal itu terus ada…. sampai tanggal 12 Oktober 2002 sekitar pukul 11 malam, saat terjadi pemboman di Bali. Tiga bom diledakkan: dua di nightclub di Kuta, dan satu di dekat konsulat Amerika di Denpasar. Kejadian itu mengambil 202 nyawa (menurut berita saat itu), 88 di antaranya adalah warganegara Australia. Otak dari pemboman itu adalah Jamaah Islamiyah, salah satu cabang/ranting dari Al-Qaeda.
Sebagai seorang Indonesia yang tinggal di Eropa, saya banyak sekali menerima ucapan dukacita serta berbagai pertanyaan, antara lain dari berbagai seniman terutama komponis yang telah bekerjasama dengan saya. Di antara mereka, ada belasan (sebetulnya puluhan, tapi saya terpaksa tolak beberapa karena tentu saya dengan dua tangan sepuluh jari ini tidak sanggup!) yang terpicu untuk menuliskan sebuah karya, karena satu dan lain hal (misalnya Betty Beath dan Nancy van de Vate yang memang telah sempat tinggal di Bali) dan meminta saya untuk memainkan karya mereka. Ini menjadi satu rangkaian proses artistik yang alamiah sebagai bagian dari proses penciptaan karya-karya tersebut, mengingat saya sudah cukup mengenal bahasa musikal mereka, dan mereka juga sudah percaya akan kemampuan saya untuk mengerti dan secara teknis bisa memainkan karya mereka. Disebabkan gencarnya pemberitaan di media, serta dampak kejadian ini secara psikologis ke banyak sekali orang, benak artistik mereka terus ditempa untuk membentuk karya seni sebagai katarsis dari emosi mereka, apapun itu. Secara filosofis, hal ini juga memicu banyak orang untuk mulai berpikir tentang dampak negatif fanatisme agama.
Destruction leads to creation. Semua yang hancur memberi jalan ke kreasi baru. Ini seperti sebuah kerang yang membuat mutiara karena ia dilukai, disakiti oleh benda asing. Ia harus membalut benda tersebut, baik secara fisik maupun psikologis, menjadi sesuatu yang indah. Begitu pula kasus bom Bali ini. Para teroris berhasil menghancurkan dan membunuh banyak orang, tapi kita yang masih hidup akan mengenangnya dan berbuat sesuatu untuknya. Dua tahun setelah kejadian itu saya mengumpulkan “surat-surat musikal” yang tercipta dari kejadian ini dan menjadikannya dalam satu program dan berkeliling dunia dengan program ini. Tidak semua bisa masuk dalam satu konser karena banyaknya karya (dan terus bertambah), tapi di setiap konser paling tidak saya memainkan 12 karya, dan selalu saya utamakan karya-karya dari komponis negara yang saya kunjungi itu. Beberapa karya ini malah bertahun-tahun kemudian dieksplorasi kembali oleh sang komponisnya dan dijadikan karya yang lebih panjang, lebih bermakna, substantif seperti “Alio Modo”-nya David del Puerto menjadi karya simfonik sepanjang 20 menit.
Nancy van de Vate (1930-2023) lahir di New Jersey, Amerika tapi di tahun 1980-an pindah dan menjadi warganegara Austria. Ia akan dikenang bukan hanya dari musiknya termasuk 7 opera (yang paling terkenal adalah “All Quiet on the Western Front” adaptasi dari novel Erich Maria Remarque) tapi juga jasanya sebagai pendiri International League of Women Composers di tahun 1970-an. Hal ini sangat mengangkat harkat perempuan di dunia musik klasik yang bahkan sampai sekarang di beberapa negara masih didominasi oleh kaum pria. Di usia mudanya, Van de Vate bahkan harus menggunakan pseudonim William Huntley karena saat itu masih banyak yang gerah melihat nama seorang perempuan di kertas partitur. Saya sendiri tidak tahu “keberadaan” si William Huntley ini sekarang, yang jelas sudah tidak ada lagi musiknya. Mungkin di kemudian hari ia mengubah nama ini di semua partiturnya setelah Nancy van de Vate menjadi nama besar di dunia musik. Ia pernah tinggal di Indonesia di tahun 1980-an sebelum pindah ke Austria dan menjadi warganegara sana, sehingga ia tahu benar struktur musik gamelan. Karyanya, “Balinese Diptych” adalah salah satu dengan elemen musik Bali terkuat di antara karya-karya lain yang tercipta dari kejadian ini. Beberapa lainnya yang cukup menonjol dan kini menjadi bagian dari repertoire piano dunia karena telah dimainkan oleh banyak pianis lain adalah Fantasy Pieces dan beberapa piano sonata.
Australia adalah negara yang paling terdampak dari bom Bali ini, sehingga sampai ada empat komponis yang menghubungi saya untuk menulis karya tentang ini. Peter Sculthorpe bisa dianggap sebagai komponis pertama yang “paling Australia”, dan ia menuliskan “Little Passacaglia” untuk saya di event ini. Saya sudah bahas di link di sini, jadi saya bahas 3 komponis Australia lainnya ya yang berkontribusi ke karya-karya tentang bom Bali ini.
Peter Sculthorpe, the Most Indonesian Australian Composer by Ananda Sukarlan, composer & pianist “Tremors, Dreams, Memories” karya Elena Kats-Chernin (lahir 1957 di Tashkent, Uzbekistan tapi sekarang menetap dan menjadi warganegara Australia) menarik benang merah antara gaya minimalis Eropa asalnya dan progresi harmonik statis khas Bali. “Bali Yearning” karya Betty Beath menangkap kualitas dekorasi Gamelan yang penuh energi, statis, dan terpusat; dan “Veils 2” karya Barry Conyngham, menyandingkan akord kesedihan, melodi deklamatoris yang menyedihkan, dan tekstur seperti toccata dan arabesque dalam argumen struktur yang lebih kompleks. Andrew Ford menuliskan “…fear no more …” yang sebetulnya cukup disonan sehingga saya selalu berpikir “nah gimana kita tidak takut?” tapi justru karena itu, akord-akord yang konsonan di karya ini menjadi sangat spesial bunyinya.
Karya komponis Denmark paling terkemuka abad 20 Per Norgard, “Many Returns to Bali” bahkan berkarakter cukup optimis dalam kunci A Mayor yang terang benderang. Per Norgard bisa dibilang sebagai penerus Carl Nielsen yang dianggap “komponis Denmark abad 19”. Bedanya, Norgard banyak terinspirasi oleh filosofi Timur, paling utama dalam operanya “Siddharta”. Dari Spanyol, yang juga banyak menderita serangan teroris Basque yaitu ETA (Euskadi Ta Askatasuna) yang telah banyak menculik orang dan meledakkan berbagai tempat, dan di mana darah selalu memanas, ada 4 komponis. Polo Vallejo menulis “It’s Snowin’ in Bali”. Polo sebetulnya jarang menulis musik, ia sangat jauh lebih terkenal sebagai musikolog musik etnik Afrika. Jadi ini spesial banget bahwa ia menulis karya ini yang cukup virtuosik (Polo Vallejo kuliah piano, jadi instrumen ini bukan barang asing buatnya).
“Alio Modo” (“Dengan Modus yang Berbeda”, ini permainan kata karena “modo” bisa artinya “modus”, bisa juga “tangganada”) karya David del Puerto kemudian menjadi bagian dari karya besarnya, Simfoni no. 2 “Nusantara” untuk piano dan orkes yang kemudian kami perdanakan di Venice Biennale bersama Orquesta Comunidad de Madrid dengan dirigen Jose Ramon Encinar beberapa tahun kemudian. Karya piano solo ini sebetulnya cuma berdurasi sekitar 4 menit, dan separuhnya menjadi cadenza dari simfoni tersebut. Separuhnya lagi diorkestrasi menjadi bagian terakhir simfoni ini. David del Puerto, seperti Jesus Rueda yang menuliskan “Notturno in Bali” adalah peraih anugerah kebudayaan tertinggi di Spanyol, Premio Nacional de Musica di tahun yang berbeda. Tiap tahun ada 1 pemenang untuk bidang musik, tari dan sastra oleh Kementrian Kebudayaan Spanyol. Masing-masing pemenang mendapatkan 30.000 euros.
John McLeod (Skotlandia, 1934-2022) menuliskan Two Balinese Rituals. Saat itu saya baru saja memperdanakan Piano Concerto-nya yang ia tulis untuk saya mainkan dengan orkes simfoni Edinburgh, “Symphonies of Stone and Water”. Jadi saya dapat “rejeki nomplok” mendapatkan dua mahakarya langsung dari grandmaster
komponis paling terkemuka Skotlandia ini, satu dengan orkes dan satu piano solo.
Ironisnya, saya baru menyadari betapa pentingnya musik Indonesia bagi dunia musik klasik setelah banyaknya komponis dunia yang tergerak, tersentuh dan terbentur atas kejadian mengerikan ini.
Gamelan Bali dan Jawa telah lama menjadi referensi untuk penciptaan musik klasik baru, dan kini kembali memicu lahirnya karya-karya baru yang penting untuk perkembangan teknik dan warna pianistik. Karya-karya baru ini bukan hanya menjadi dokumen artistik, tapi juga dokumen sejarah mengekspresikan apa yang mewakili dirasakan banyak orang dari latar belakang budaya di berbagai belahan dunia. Ini menghasilkan serangkaian surat musikal dari seluruh dunia dengan tema yang sama yang anehnya tidak berhubungan dengan terorisme, namun menggambarkan suasana yang berkisar dari dukacita, kontemplasi dan ketenangan sampai harapan yang cerah tentang utopia kehidupan yang telah diberikan oleh Bali ke dunia. Tentu kita semua berdukacita atas kejadian bom Bali, tapi karya-karya baru yang tercipta ini telah menjadi material baru untuk para pianis di seluruh dunia untuk memainkannya di berbagai konser. Bukan hanya untuk mempersembahkan keindahan dan kedalaman karya-karya piano ini saja, tapi juga mengingatkan dunia bahwa lewat seni kita bisa belajar sejarah. Dan mempelajari sejarah itu penting untuk mencegah hal-hal yang buruk untuk terulang.