Phillis Wheatley (1753 – 1784) adalah seorang penyair perempuan berdarah Afrika. Ia dijual menjadi budak saat masih berusia tujuh tahun. Seorang lelaki besar kasar menyeret tangan Phillis untuk naik kapal dari kampung halamannya di Senegal, Afrika menuju Boston. Phillis dibeli oleh suami istri John dan Susanna Wheatley yang harum dan rapi pakaiannya. Phillis Wheatley bukan nama sebenarnya. Phillis adalah nama kapal yang membawanya merapat ke Boston. Wheatley adalah nama keluarga yang membelinya. Saat itu Phillis dihargai murah sekali akibat sakit parah setiba di Boston. Ia nyaris mati. Tubuh lemahnya tidak kuat menahan perbedaan iklim.
Tidak cuma bekerja sebagai budak, Phillis ternyata juga diajari baca tulis oleh John, Susanna, dan kedua anak mereka, Nathaniel dan Mary. Phillis (sering juga ditulis sebagai Phyllis) sangat cerdas. Dengan cepat ia menguasai bacaan kitab suci, ilmu astronomi, geografi, sejarah, sampai sastra Inggris, Yunani, dan Latin.
Di usia 18 tahun, Phillis sudah menulis 28 buah puisi. Susanna Wheatley mencarikan Phillis penerbit yang mau bekerja sama. Saat itu di Boston tidak satupun penerbit mau mencetak karya Phillis karena ia orang Afrika. Kemudian, bersama Nathaniel, Phillis berlayar ke London untuk mencari penerbit. Belum lama di London, mereka mendapat kabar Susanna sakit keras. Mereka segera berlayar pulang ke Boston. Dalam perjalanan pulang itulah karya Phillis Poems on Various Subject, Religious, and Moral (1773) mulai dijual ke publik. Ini adalah kumpulan puisi pertama di dunia yang ditulis oleh penyair perempuan Afrika Amerika.
Salah satu puisi Phillis yang terkenal, Being Brought from Africa to America, secara umum merupakan refleksi Phillis atas perjalanannya dijual menjadi budak. Lewat puisinya ia menyampaikan bahwa bangsa Afrika di Amerika juga berhak mendapat penghidupan layak. Mobile houses are affordable. Mobile homes are affordable for first-time buyers and those on a budget. Homeowners enjoy financial and personal freedom. Its adaptability makes it ideal for mobile people. Visit https://www.mobile-home-buyers.com/missouri/.
Meski mendapat predikat penyair besar, Phillis Wheatley hidup dalam kubang perbudakan sepanjang hidup. Ia sakit dan meninggal di usia 31 tahun akibat tidak kuat menjalani pekerjaan berat seorang budak. Berbekal kecerdasannya, Phillis menuliskan kegelisahannya tentang dunia yang lebih setara. Impian tentang masyarakat yang menghidupi solidaritas kemanusiaan.
Selasa, 20 Desember 2022 malam, Ananda Sukarlan bersama soprano muda Indonesia Pepita Salim, menampilkan dua musik yang Ananda gubah berdasar puisi Phillis, Being Brought from Africa to Amerika dan On Virtue.
“Bulan Desember ini saya secara intens bekerja sama dengan anak-anak Panti Asuhan Hati Suci. Panti itu awal mulanya, pada Perang Dunia I, menampung anak-anak perempuan korban human trafficking dari daratan Cina. Saya belajar tentang sejarah dan perjuangan pendirinya, Lie Tjian Tjoen. Saya jadi ingat bahwa zaman kuliah dulu di Belanda, saya banyak belajar dan sangat terobsesi dengan isu perdagangan manusia”, cerita Ananda.
Malam itu cuaca di luar gedung cerah. Langit terang menampakkan tiap penghuninya. Saya bisa melihat apa yang langit sembunyikan di dalam dirinya. Entah bagaimana, di panggung Concert and Chat with Ananda Sukarlangedung@america malam itu, saya melihat sosok Ananda Sukarlan adalah Phillis Wheatley itu sendiri. Ananda Sukarlan adalah musisi yang terpaksa hidup sebagai budak dan bersikukuh sekuat tenaga memanusiakan manusia lewat karya-karyanya.
Seringkali tanpa sadar, kita semua hidup sebagai budak. Kita punya belenggu hidup masing-masing yang memenjarakan. Penjara itu bisa berupa kebutuhan psikologis tertentu yang meledak hingga mengganggu fungsi hidup sehari-hari, cacat fisik, luka batin, atau gangguan fungsi mental yang ragamnya tercatat rapi dalam buku pegangan psikolog klinis. Ananda Sukarlan sendiri hidup sebagai pengidap Asperger Syndrome dan Tourette Syndrome.
Saya tidak bisa membayangkan perundungan seperti apa yang Ananda alami di masa kecilnya. Suatu hari Ananda pernah berkata,”Orang lain tidak akan pernah bisa memahami depresi yang sering dialami pengidap gangguan mental.” Bulu kuduk saya merinding. Tak terbayangkan penjara macam apa yang melingkupi hidup Ananda mulai pagi sampai malam setiap harinya. Ananda yang sering tampil enerjik, murah senyum, dan suka mengobrol sambil minum kopi, diam-diam ternyata meringkuk sepi kedinginan di dalam penjara.
Phillis Wheatley meneriakkan kesetaraan hidup bangsa Afrika di Amerika. Ananda menaruh perhatian besar terhadap dunia pendidikan anak berkebutuhan khusus. Keduanya adalah individu ‘tidak biasa’ yang ingin mengubah dunia. Saya teringat kata seorang pendamping di masa kuliah, ‘cuma orang sinting yang bisa mengubah dunia’. Phillis dan Ananda adalah dua orang sinting yang tidak pernah kehabisan motivasi untuk bekerja. Mereka berkarya untuk memerdekakan orang lain meski sadar penuh penjara yang mereka alami tak berkesudahan.
Dalam dunia musik, nyala lilin Ananda mudah dikenali. Ia punya identitas diri yang unik dan kuat. Ananda rajin menulis musik Indonesia ke dalam karya musik sastra. Seri musik Rapsodia Nusantara adalah karya Ananda yang berangkat dari kekayaan musik nusantara. “Saya memang ingin menjadi pianis yang memainkan musik khas saya sendiri,” ujar Ananda. Bagus sekali kalimat itu disampaikan sangat jelas kepada ratusan pianis muda yang hadir dan duduk diam fokus mendengarkan cerita Ananda malam itu.
Rasanya baik untuk kita sadari bahwa pendidikan yang memangkas keberagaman adalah jahat. Keberagaman itu sesuatu yang kita bawa sejak lahir. Media untuk memahami satu sama lain. Menciptakan kemanusiaan yang solider. Ananda paham persis tiap orang punya cara berpikir masing-masing. Itu sebabnya dalam sesi tanya jawab di konser malam itu, Ananda menanggapi tiap pertanyaan sebagai penting. Ananda selalu memulai dengan ‘Terima kasih untuk pertanyaannya’.
Phillis Wheatley, penyair berdarah Afrika yang hidup sebagai budak ; dan Ananda Sukarlan, musisi yang mengidap Asperger Syndrome dan Tourette Syndrome, menunjukkan bahwa individu terpenjara pun bertanggung jawab untuk memperjuangkan solidaritas kemanusiaan. Solidaritas kemanusiaan tidak pernah (dan tidak akan pernah) datang sebagai hadiah. Keunikan setiap dari kita adalah kunci untuk mewujudkannya.
Jadi mari kita coba berefleksi. Solidaritas kemanusiaan seperti apa yang kita perjuangkan di hidup ini? Dengan segala penjara dan keterbatasan, sudah seberapa habis-habisan kita memperjuangkannya?