Buat kamu yang anak band, pasti pernah deh pas masa-masa sekolah dulu dinasihati ibu buat ngurang-ngurangin main band dan lebih banyak belajar. Bukan, ibumu bukannya benci musik. Bukan juga gak mau anaknya jadi pemusik. Ibumu hanya khawatir, takut kamu luntang-lantung gak punya tujuan. Sementara dunia saat ini penuh ketidakpastian.
Mungkin sekarang kamu dan bandmu sudah sukses. Lantas kamu bersyukur karena dulu membantah nasihat ibu. Coba kalau kamu menurut, berhenti ngeband dan rajin belajar, gak mungkin kamu ada di posisimu sekarang, begitu pikirmu. Tapi kamu lupa memikirkan bahwa dibanding anak band lainnya, kamu termasuk yang beruntung karena bisa sukses.
Padahal, kalau kita coba ingat-ingat. Yang pertama kali mengenalkan kita dengan musik adalah ibu. Ketika kecil, kamu mungkin pernah diajak bernyanyi “Pok ame ame belalang kupu-kupu, siang makan nasi kalau malam minum susu”. Sebelum tidur, ibu bersenandung “Nina bobo oh nina bobo, kalau tidak bobo digigit nyamuk”. Lagu-lagu sederhana ini mungkin adalah lagu pertama yang kamu hapal.
Kamu pun besar sedikit. Di sekolah dasar kamu berkenalan dengan seruling dan pianika. Kamu tidak merasa alat musik itu keren. Kamu pun mempelajarinya dengan ogah-ogahan. Tapi ibu ingin kamu bisa, ia pun menyisihkan waktunya untuk membantumu belajar. Ketika kamu akhirnya lancar memainkan alat musik ini perasaanmu biasa saja, tapi toh kamu jadi mengerti bunyi-bunyi nada dari usia dini.
Kamu berkenalan dengan gitar lewat salah satu teman cowokmu di SMP. Kamu merengek-rengek minta dibelikan gitar. Dengan bujukan ibu, ayah akhirnya mau membelikan satu. Karena kamu telah akrab dengan nada-nada, kamu tak perlu waktu lama buat menguasai alat musik ini. Kamu pun berkenalan dengan musik rock. Kamu ingin jadi bintang rock, katamu. Maka, bersama teman-teman pergaulanmu, kamu mulai coba-coba membuat band. Saat bandmu tampil pertama kali di pentas seni sekolah, ibu melihat rekaman videonya sambil terharu melihat anaknya sudah jadi sekeren ini.
Di SMA, kamu langganan tampil tiap pensi. Bandmu lebih dari satu. Kamu juga sering diminta bermain dalam acara-acara sekolah yang lain. Sebelum kamu sadar, kamu sudah di tahun terakhir SMA-mu. Saat teman-teman yang lain menambah porsi belajarnya, kamu biasa saja. Menurutmu, kamu tidak perlu ngotot-ngotot amat sebab tujuanmu adalah jadi musisi selulusnya nanti, masalah kuliah di mana tak jadi soal.
Ibu khawatir melihat gelagatmu. Ia tahu ayah lebih menginginkan kamu jadi diplomat. Sambil terus-menerus membujuk ayah, ibu juga menyuruhmu belajar agar kamu dapat melanjutkan studi musik ke pendidikan tinggi. Kamu pun mulai belajar, dan akhirnya diterima di institut musik ternama. Ayah luluh hatinya melihat pencapaianmu, dan kini ia mendukung sepenuhnya perjalananmu di bidang musik.
Kamu harus pergi meninggalkan rumah sebab institut musik tempatmu diterima berada di luar kota. Ibu tak kuasa menahan air mata ketika berpamitan di bandara. Untuk pertama kalinya, kamu hidup sendiri. Awalnya, kamu kesulitan mengurus kehidupan barumu. Kamarmu berantakkan. Tapi kamu menerima banyak saran dari ibu saat kalian ngobrol di telepon. Sedikit demi sedikit kamu mulai terbiasa. Tahu-tahu, kuliahmu sudah selesai. Kamu lulus dengan predikat cum laude. Ibu dan ayah bangga bukan main.
Selepas itu kamu bersama teman-teman kampusmu mulai serius membentuk band. Album debut kalian ciptakan, album-album selanjutnya menyusul satu demi satu. Kini kamu sudah sukses. Dan sekilas kamu merasa pencapaian itu adalah hasil kerja kerasmu sendiri. Tapi ketika kamu mengingat-ingat dengan lebih teliti, selalu ada sosok ibu di sana. Ia memuluskan jalan terjalmu menuju kejayaanmu saat ini. Kamu tersenyum memikirkan semua itu dan baru sadar bahwa hari ini adalah Hari Ibu. Kamu meraih ponselmu dan menelepon ibu, ketika ia mengangkat, kamu langsung berkata “Selamat Hari Ibu ya, bu!”