Siang itu, terlihat hiruk pikuk di sekitar Gedung KITA Anak Negeri. Ada yang mondar-mandir naik-turun dari lantai ke lantai, ada yang duduk-duduk menunggu di resto bawah, ada juga yang sibuk menge-set alat-alat di hall lantai tiga. Rupanya, hari itu, Minggu (30/4), adalah hari pagelaran Konser Piano Klasik 2017, sebuah agenda rutin dari Divisi Piano Klasik Lembaga Pendidikan Musik (LPM) KITA Anak Negeri. Kali ini dengan mengusung tema ‘Konser Guru’.
Di dalam hall lantai tiga, dua orang perempuan berpakaian rapih serba hitam tanpa sengaja memasang tampang gugup. Setelah check sound dan pemanasan sedikit dengan grand piano, mereka berdua duduk dan berusaha mengobrol, mencoba menenangkan kegugupan masing-masing barangkali. Dua perempuan ini adalah Asti Fajriani dan Karina Andjani, dua dari total lima orang guru piano klasik di LPM KITA Anak Negeri. Pada Konser Piano Klasik tahun ini, mereka bersama sang kepala program studi, Ananda Sukarlan, didaulat menjadi line-up performer. Bukan sembarang gugup, gugupnya mereka adalah efek samping dari antusiasme meluap-luap, ditambah tanggung jawab diri untuk tampil memukau, demi menyukseskan resital ini.
Beberapa menit berlalu sampai Ananda Sukarlan datang, konser pun akhirnya dimulai dengan penampilan pertama dari mereka berdua yang berkolaborasi membawakan Petite Suite for 4 Hands milik Claude Debussy, bagian En Bateau dan Cortege. Setelah menghabiskan lagu ini dengan epik, mereka berpisah. Karina turun dari mini-stage menyisakan Asti bersama lembaran partitur dan grand piano. Ia pun mulai memainkan komposisi milik Ananda Sukarlan dari buku Alicia’s First Piano Book No. 10, berjudul Falling In Love. Setelah Asti menandaskan lagu ini, giliran Karina yang gantian duduk di mini-stage sendirian. Ia memainkan komposisi yang diambil dari buku yang sama, berjudul Nocturne for a Somnambulist.
Karina lanjut membawakan tiga komposisi lagi, dua diantaranya milik Frédéric Chopin, Waltz op. 64 no. 1 in D Flat Major dan Waltz op. 64 no. 2 in C Sharp Minor. Yang ketiga adalah Reverie milik Claude Debussy. Lagu-lagu ini ia mainkan satu per satu dengan penghayatan tingkat ekstrim, presisi bukan main, serta keindahan yang luar biasa menohok jiwa. Para penonton yang kebanyakan adalah orang tua murid pun kagum dan seketika sadar bahwa mereka tidak salah pilih ketika memutuskan untuk menitipkan buah hati mereka untuk belajar piano dengan Karina.
Puas setelah berhasil mengesankan orang seisi hall, Karina turun dari mini-stage dengan senyum lebar. Giliran Asti buat unjuk kebolehan pun tiba.
Asti mengawali rangkaian penampilannya dengan (lagi-lagi) komposisi milik Claude Debussy, yang kali ini berjudul Clair de Lune. Berlanjut ke Somewhere Over The Rainbow milik Harold Arlen dan Yip Harburg. Terakhir, ia membawakan komposisi milik dan ciptaannya sendiri yang berjudul Silence Before The Dark. Personanya yang misterius di atas panggung membuat kebanyakan penonton sampai dibuat ‘lupa bernapas’ saat menyimak permainannya. Rumit, menghanyutkan, kadang membikin pilu, kadang agak seram, namun yang jelas luar biasa. Melalui rangkaian penampilan ini, terutama pada Silence Before The Dark, Asti tidak hanya membuktikan kapasitasnya sebagai seorang pianis, namun juga mempertontonkan bakatnya sebagai komposer lewat komposisinya yang kelewat bagus. Setidaknya dari perspektif orang awam (termasuk penulis) komposisinya tidak kalah berkelas dari komposisi-komposisi lain milik komposer-komposer klasik terdahulu yang dibawakan di resital ini.
Penampilan dua pianis perempuan muda berbakat tadi pun selesai. Gantian, kini saatnya yang sudah senior unjuk wawasan dan pengalaman. Ananda Sukarlan, salah satu pianis terbaik Indonesia yang sudah membesarkan namanya kemana-mana, memberikan konsultasi terbuka secara gratis kepada orang tua murid dan penonton yang hadir. Segala macam pertanyaan mulai dari yang paling simpel seperti cara-cara memotivasi anak dalam mengajar piano, sampai yang rumit seperti perbandingan musik klasik dan sejarahnya dapat ia jawab dengan ungkapan yang mudah dipahami. Kadang-kadang, kalau yang di depan kita adalah seorang maestro, tak perlu bermain sekalipun, mendengarkannya berbicara ngalor-ngidul saja sudah menjadi tontonan yang bergizi bagi pikiran dan menghibur bagi jiwa. Setelah dua orang sebelumnya mendemonstrasikan piano klasik secara ‘pertunjukan’, Ananda Sukarlan dengan tak kalah elegan mendemonstrasikan piano klasik secara ‘teoritis’ dan ’empirik’. Keren sekali ya?