oleh Ananda Sukarlan, ketua Divisi Piano Klasik KITA Anak Negeri
Satu opera saya yang diproduksi secara bertahap adalah Saidjah & Adinda. Semua orang Indonesia tahu dong tentang kisah cinta ini, ditulis oleh Douwes Dekker alias Multatuli yang menjadi bagian dari bukunya “Max Havelaar” yang memprotes praktek kolonialisme di Indonesia. Pokoknya sebagai orang Indonesia, kita harus tahu soal Max Havelaar.
Sastrawati Okky Madasari menulis bahwa Max Havelaar tak berhenti dikaji hingga hari ini dengan segala pendekatan dan teori. Demikian juga dengan berbagai upaya untuk membongkar sosok Multatuli di luar karyanya. Sebagai seorang pegawai pemerintah Belanda yang ditempatkan di negara jajahan, Multatuli adalah bagian dari para penjajah yang bekerja untuk melayani kepentingan penjajah. Walaupun kemudian setelah ia menerbitkan Max Havelaar, ia memutuskan untuk mengundurkan diri daripada dipindahtugaskan, tetap tak menghapus fakta bahwa Multatuli bekerja untuk kepentingan kolonial
Opera saya ini bermula dari “opera betulan”, artinya live dipagelarkan untuk publik. Dan tidak tanggung-tanggung, dipagelarkannya di udara terbuka! Yeah, ini sebetulnya commission dari Museum Multatuli di Rangkasbitung, Lebak, lewat produsernya Bonnie Triyana, tahun 2017. Mereka meminta saya membuat opera untuk penduduk lokal, di mana semua orang bisa datang dan menonton, gratis. Nah, versi ini saya bikin dengan flashback, dimulai dengan diusungnya “mayat” Adinda melalui penonton, yang waktu itu betulan lebih dari 800-an, dan tentunya pertama kali menonton opera, bahkan mendengar musik “klasik”. Kerbaunya pun kerbau betulan!
Nah, kemudian kami mendapat “perintah” dari Kementrian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi untuk membuatnya dalam bentuk film di tahun awal pandemi Covid, 2020. Dan permintaannya adalah opera ini harus lengkap, sejak awal Saidjah kecil bermain dengan kerbaunya. Nah, pusing deh! Nanti di bawah saya cerita kenapa. Tapi kemudian Chendra Panatan, manager saya yang juga bertindak sebagai direktur artistik proyek ini, menemukan solusinya. Jadi, versi film ini dimulai dengan tarian, menjadikan ini sebuah dancefilm.
Ini sebetulnya adalah opera film, tapi separuh dance film. Tokoh-tokoh baru bernyanyi di paruh kedua, dan baik Saidjah dan Adinda diperankan oleh penyanyi (tenor Widhawan Aryo Pradhita dan soprano Mariska Setiawan) dan penari (Freddy Kho — yang sama sekali tidak mirip dengan Widhawan! — dan Mariska Febriyani, yang postur tubuhnya lumayan serupa dan malah kebetulan sama “Mariska”nya.) Widhawan dan Mariska Setiawan memang sudah sejak premiere di Museum Multatuli terlibat sebagai peran utama, tapi para penari itu tidak. Kenapa? Karena pertunjukan perdana itu dimulai dari kisah cinta mereka, dan panjangnya memang diminta tidak lebih dari 40 menit. Ini dikarenakan penonton banyak yang menyaksikan dengan lesehan (duduk di tanah) bahkan berdiri sepanjang opera itu. Dan saya kagum sekali, satu pun tidak ada yang pulang di tengah-tengah pertunjukan!
Nah, pusingnya yang tadi saya bilang itu karena dua hal:
1. tidak adanya boy soprano saat itu yang bisa menjadi tokoh Saidjah waktu kecil.
2. sangat sedikit dialog yang ditulis oleh Multatuli di bagian cerita Saidjah waktu kecil ini. Narasi yang ada pun tidak dapat saya jadikan monolog atau dialog (mungkin ini ketidakmampuan literasi saya saja …. kalau saja ini dibuat oleh Sir Michael Tippett yang terkenal sebagai komponis yang sering membuat libretto-nya sendiri, dia pasti bisa).
Nah ini pembukaannya :
Saidjah & Adinda , opera by Ananda Sukarlan based on story by Multatuli – YouTube
Cuplikan-cuplikan selanjutnya, silakan cari di channel youtube saya deh, Ananda Sukarlan.
Akhirnya, memang bentuk film menjadi yang terbaik dari opera saya yang satu ini. Instrumentasinya pun bisa akhirnya direalisasikan menurut apa yang bunyi di kepala saya: ada yang untuk 3 piano (semuanya saya yang main dengan teknik playback saat merekamnya), ada yang untuk trio flute, marimba dan klarinet (di pembukaannya), ada piano trio dll. Jarang bahkan tidak ada bagian dimana seluruh instrumen ini bermain secara tutti. Kebayang nggak ribetnya kalau ini live?
Libretto dari opera ini sebetulnya adalah terjemahan yang sudah ada, yang saya gabungkan dari terjemahan H.B. Jassin dan kemudian ada juga dari Bakri Siregar tapi kemudian saya utak-utik dan tambahkan beberapa kalimat sendiri, termasuk mengubah narasi menjadi monolog atau dialog. Maaf saja saya tidak bisa puitis, saya bukan penyair.
Anyway, saya harus tulis beberapa kredit yang belum disebutkan di atas, tidak semua sih tapi yang penting-penting saja
Saidjah (anak kecil) : Mordechai Sumenda
Ayahnya Saidjah : Ari Prajanegara
Ibunya Saidjah : Mariska Febriyani
Kerbau : Qolbi Rahman
Demang : Rayen Raschool
Orkes , dipimpin oleh Ananda Sukarlan (piano)
Carmen Caballero – flute
Dino Yulio Wijaya – clarinet
Bowie Djati – perkusi
Bryant Gozali – cello
Koreografi : Ari Prajanegara
Penata artistik : Chendra Panatan