Suatu malam, saya duduk bersama seorang sahabat lama. Sama seperti saya, dia juga pengajar piano. Kita berdua menyeruput kopi hitam panas sambil duduk di teras rumah. Rintik gerimis dan angin sejuk mengiringi obrolan kami. Cipratan air sesekali mengenai badan. Namun, hangatnya obrolan membuat kami terlalu betah. Demikian ia bercerita:
“Kemarin sore aku ngobrol sama satu orang tua murid.”
“Tentang?”
“Kemajuan muridku. Sekarang dia lebih tenang. Mau membuka diri. Mau cerita. Buat orang lain mungkin itu remeh. Tapi untuk muridku, orang tuanya, dan aku, ini kemajuan besar.”
“Oh gitu.. Apa yang kamu lakukan emangnya?”
“Nggak banyak. Aku cuma sering ngajak dia ngobrol di kelas. Dulu dia kurang nyaman kalo dapat arahan atau masukan tentang apapun, termasuk piano. Sekarang jauh lebih terbuka.”
“Hoo.. Lebih dewasa ya?
“Betul. Bangga bisa berproses bareng dia.”
“Ikut seneng!”
“Ya, makasih.. Oh, aku baru aja ngelepas satu murid. Aku ‘ngusir’ dia pindah ke guru lain, hahaha!”
“Lho, kenapa? Dia nolak uang les naik?”
“Bukaaannn..”
“Dia tiap dateng telat tiga jam?”
“Bukan jugaaa…”
“Dia kalo masuk kelas hand stand gitu?”
“Bukan! Dia murid berkebutuhan khusus. Dulu dia susah untuk fokus. Sering lari-lari di kelas.”
“Oh gitu.. Terus?”
“Aku nemenin dia pelan-pelan. Ga bisa langsung ngajarin materi lagu kayak di kelas biasa. Pelan-pelan banget untuk ngelola suasana hati dia.”
“Oh iya, aku denger kamu juga pernah dikunciin di kelas ya sama muridmu itu? Hahaha!”
“Betuuul, hahaha.. Dasar usil. Sekarang dia jauh lebih dewasa. Stabil. Fokusnya bagus-gus-gus banget. Dia butuh pengajar piano klasik yang lebih expert dari aku.”
“Kamu senang jadi guru piano?”
“Banget! Guru itu… Apa ya.. Guru itu murid abadi, hahaha.. Sekali jadi guru, jadi murid selamanya! Aku juga bisa belajar banyak hal dari murid dan orang tua murid.”
“Hmm..”
“Guru harus.. HA-RUS lebih banyak ngedengerin, ketimbang ngomong atau ngasih tau.”
“Kenapa gitu?”
“Kenapa ya.. (dia menyeruput kopi) Mau tahu?”
“Iya.”
“Beneran?”
“Oke aku pulang.”
“Jangan! Hmm.. Jadi gini, aku yakin sikap, pikiran, dan perkataan kita sebagai guru, bakal lebih bermanfaat kalo kita mau banyak ngedengerin. Ngedengerin itu bukan semata-mata ‘denger’ pake telinga ya. Tapi memahami. Belajar nganalisa situasi. Ngebuka diri ke semua hal baru. Belajar hal baru. Kita juga ngenalin murid, orang tua, dan diri sendiri lebih dalem.”
“Kamu guru yang baik ya!”
“Nggak! Aku sering cemas lho..”
“Kenapa?”
“Coba baca kalimat ini.. (ia menyodorkan ponselnya)
“Hmm.. Mediocre teacher tells. Good teacher explains. Superior teacher demonstrates. Great teacher inspires. William Arthur Ward. Oke. Kenapa dengan ini?”
“Aku masih terlalu banyak ngomong. Cuma bisa ngejelasin sama ngasih contoh. Belum paham gimana cara menginspirasi.”
“Oh…. Aku juga belum. Gimana ya?”
“Nah itu.. Gimana ya?