Marah, sedih, takut, dan kecewa. Itu beberapa emosi yang sering kita kategorikan sebagai emosi negatif. Perasaan jadi tidak nyaman. Pikiran penuh hal-hal tidak mengenakkan. Rasanya serba tidak karuan. Emosi negatif membuat kita benci akan diri sendiri atau orang sekitar, mengurangi kepercayaan diri, penghargaan terhadap diri sendiri (self esteem), dan kepuasan hidup.
Kiranya perasaan-perasaan itulah yang muncul dalam benak kita saat mendengar berita meninggalnya anak berusia delapan tahun asal Medan, Ibrahim Hamdi alias Baim, akibat dirundung oleh teman-temannya sendiri. Kondisi Baim, siswa kelas 1 di SDN 13 Kota Medan terus memburuk hingga akhirnya meninggal pasca kejadian perundungan yang terjadi di luar sekolah itu. “Tiap pagi saya tanya, Baim Nak, mau minum apa, Nak? Teh manis hangat mau, Nak? Dia mau minum, tapi tidak mau makan,” cerita orang tua Baim, Yusraini Nasution.
Tragedi ini membuat semua orang kaget. Bagaimana mungkin anak-anak menyiksa temannya sendiri hingga akhirnya tewas? Seharusnya mereka berpikir bahwa hal yang mereka lakukan pada orang lain juga bisa terjadi pada mereka. Entah apa motivasi para perundung. Bisa jadi semacam pernyataan superioritas yang kebablasan. Apapun itu, yang jelas itu ngawur. Pendidikan anak terjadi di tiga tempat, keluarga, institusi pendidikan, dan masyarakat. Maka, kualitas pendidikan anak tentu menjadi tanggung jawab kita semua.
Sebuah keberuntungan atau hak istimewa bagi anak-anak yang mendapat kesempatan belajar musik. Selain kemampuan memainkan instrumen, banyak hal lain diasah dalam pendidikan musik, seperti kemampuan mengolah perasaan, mendengarkan orang lain, dan kedisiplinan. Pada akhirnya, siswa punya tempat untuk mengaktualisasikan diri. Musik menjadi semacam pernyataan tentang keberadaan diri para siswa. “Oh, si A, yang jago main piano itu ya!” menjadi kalimat sederhana yang menyatakan identitas khas siswa musik di masyarakat. Anak-anak punya fasilitas kegiatan positif untuk mengelola eksistensi dirinya.
KITA Anak Negeri sebagai institusi pendidikan musik mengangkat motto Belajar Musik dengan Mudah dan Menyenangkan. Peran kata ‘Menyenangkan’ di sini sangat penting. Sobat KlasiKITA pasti tahu bahwa kita bisa belajar dengan optimal saat otak rileks. Suasana aman, nyaman, dan menyenangkan membuat pikiran kita tenang hingga siap untuk belajar banyak hal. Kenyamanan itulah yang dirindukan oleh instruktur piano klasik Tuffana Farasabila yang akrab kita sapa Kak Anya. Saat ini Kak Anya sedang cuti menuntaskan studi magister Antropologi di Universitas Indonesia. Penelitian Kak Anya berjudul Membongkar Museum-Date: Kemas Ulang Pariwisata Lokal-Global di Era Disrupsi (Studi Kasus Museum Nasional Indonesia dan Lawang Sewu). Sebelumnya, Kak Anya adalah lulusan Ilmu Perpustakaan di Universitas Indonesia dan merampungkan studi musik tingkat 6 di Yayasan Pendidikan Musik.
Berikut petikan percakapan dengan Kak Anya:
Apa yang paling Kak Anya rindukan dari kegiatan belajar mengajar musik?
Banyak banget mas!! Pertama, aku kangen interaksinya. Sebagai instruktur yang sudah mengajar bertahun-tahun, interaksi antara guru dan murid itu tidak bisa digantikan dengan apapun. Aku senang dan nyaman banget berinteraksi dengan murid-muridku. Apalagi semua muridku masih usia sekolah dasar.
Oh begitu.. Wah, pasti menyenangkan ya suasana kelas Kak Anya. Kenapa Kak Anya senang dengan dunia anak?
Karena dari mereka, aku jadi banyak tahu dunia mereka yang pastinya beda sekali dengan duniaku. Jadi lebih update, ‘oh sekarang sedang tren mainan ini, di sekolah mereka sedang belajar ini’. Dunia mereka sebenarnya jauh lebih seru ketimbang dunia orang dewasa. Sangat kaya dan beragam kegiatan mereka. Cuma belum ada duit sendiri aja mereka tuh, hahaha!
Hahaha, benar juga ya. Adakah pengembangan diri yang Kak Anya pelajari lewat kegiatan belajar mengajar musik?
Aku belajar banyak hal sih, mas. Skill yang paling terasah itu adalah belajar mendengarkan. Tidak memberikan judge apapun atas mereka. Sering mereka cerita kalau di sekolah sedang ulangan, dapat nilai kurang bagus, atau akan pergi les lain setelah les piano. Dan mereka menganggap hal-hal tersebut berat. Buat kita orang dewasa pasti berpikir “ah materi gitu doang kenapa dibilang susah?” atau “les sejam dua jam doang, diantar naik mobil, tapi mengeluh terus!”. Kita sebagai orang yang lebih dewasa harus berempati pada apa yang mereka rasakan. Aku mencoba mendengarkan cerita mereka sampe tuntas. Terus sambil memberi semangat dan kadang afirmasi seperti “dulu pas aku sekolah, aku juga pernah dapet nilai jelek. It’s okay! Yg penting selanjutnya kamu belajar lagi biar lebih bagus nilainya.”
Nah, sekarang Kak Anya sedang menuntaskan studi magister, kan? Bagaimana kegiatan sehari-hari Kak Anya saat ini?
Kalo dibandingkan dengan kesibukanku sekarang yang berkutat di penelitian, menyusun jurnal ilmiah, diskusi dengan dosen, jelas beda banget atmosfernya. Bukan berarti jelek, tapi beda aja. Lebih seru ngajar, hahaha!
Ayo cepetan rampungkan tugas akhir dan mengajar lagi, Kak Anya! Murid-muridmu pasti juga kangen nih!
Aku juga kangen. Apalagi melihat murid-murid berhasil memainkan karya yang aku kasih, atau kadang mereka ada materi sendiri terus kita poles bareng lagu itu jadi bagus. Kangen melihat dan merasakan berprosesnya. Mulai dari yang “duh susah Kak lagunya, ganti aja” sampai “Kak, aku sudah latihan! Gampang ternyata lagunya!”. Hasil tidak akan mengkhianati proses. Mungkin bukan hasil terbaik versi kita (instruktur dan siswa), tapi bisa menjalankan proses step by step dengan sabar itu menurutku hasil terbaik dari pembelajaran di kelas dan di rumah, mas. Hehehe, intinya aku kangen ngajar!