oleh Ananda Sukarlan, Ketua Divisi Piano Klasik KITA Anak Negeri
Sepertinya dunia perpuisian dan tembang puitik semakin terkoneksi. Kemarin ada esai Emi Suy tentang karya saya yang bermula dari lagu pop Once Mekel dan Yenny Wahid sampai jadi puisi Shantined dan kemudian …. kemudian lagi … ah panjang deh. Baca saja (blog dari KITA Anak Negeri juga di-link di situ loh!) :
https://7detiknews.blogspot.com/2024/07/ananda-sukarlan-lanjutkan-karyanya_22.html
Itu salah satu contoh saja. Nah sejak beberapa hari lalu itu saya membaca puisi Heru Mugiarso (kelahiran 2 Juni 1961; sama-sama Gemini kita, mas!) untuk pertama kalinya. Agak malu saya, karena beliau itu puisinya keren-keren, tapi terlalu ehmmmm …. rendah hati mungkin ya, untuk mempublikasinya, jadi beliau hanya menulis di Facebook! Dan jumlahnya sudah ratusan, mungkin ribuan. Itu pun di FB group, yang namanya Komunitas Dari Negeri Poci, yang kebanyakan anggotanya (mungkin semua, kecuali saya sih) adalah penulis. Tapi ya biasa, ada penulis produktif seperti Heru Mugiarso ini, ada juga yang kerjaannya cuma nyinyir tanpa menulis karya apapun (biasanya ini memang wajar, if you can’t create, you criticize!). Ini puisinya, tintanya “masih basah” kata gen X yang masih berkutat dengan bolpen dan kertas. Baru ditulis minggu lalu, Juli 2024:
Saya kutip sedikit tentang sang penyair ya… dikutip dari Heru Mugiarso (stekom.ac.id) .
Heru Mugiarso memulai proses kreatif bidang sastra ketika masih duduk di Sekolah Menengah Pertama di kota kelahirannya, Purwodadi Kabupaten Grobogan, tahun 1975. Beberapa tokoh yang menginspirasi, kala itu, antara lain Federico Garcia Lorca, W.S. Rendra, Taufiq Ismail, Goenawan Mohammad, dan Sapardi Djoko Damono yang diekspresikan dalam karya-karya puisi yang kemudian ditampilkan pada panggung apresiasi. Dia juga rajin berkorespondensi dengan beberapa sastrawan di antaranya Korrie Layun Rampan, Ragil Soewarna Pragolapati, dan Linus Suryadi AG. Korrie bahkan pernah membahas puisi-puisi Heru yang dimuat pada rubrik sastra Pendakian Suara Sastra (1979). Sejak remaja Heru bergabung dengan Kumandang Sastra yang diasuh oleh Victor Roesdianto, mengudarakan puisi di program Cakrawala Sastra. Saat Kelompok Penulis Semarang terbentuk, Heru cukup aktif dalam pertemuan-pertemuan komunitas diketuai Bambang Sadono itu. Tahun 1985 Heru mulai meniti karier sebagai pengajar di IKIP Semarang, pada Fakultas Ilmu Pendidikan. Saat itulah aktivitas keseniannya agak menyurut, namun dasawarsa 1990-an dia terpanggil kembali berkarya. Puluhan puisinya dimuat di surat kabar harian Suara Merdeka yang dikurasi oleh sastrawan Triyanto Triwikromo.
Tonggak penting dari proses kreatifnya adalah ketika berhasil memenangi lomba manuskrip antologi puisi yang diselenggarakan oleh Komunitas Sastrawan Indonesia pada tahun 2003 dengan menyisihkan para penyair yang lebih dulu berkiprah, seperti Nur Zain Hae, Marhalim Zaini, dan Indra Tjahjadi. Selain itu, beberapa puisi Heru berhasil masuk dalam 100 Puisi Indonesia Terbaik yang diterbitkan oleh Gramedia Pustaka Utama, tahun 2007. Pada tahun 2012 ia diundang dalam Seminar Sastra Budaya Nusantara Melayu Raya (Numera) di Kota Padang. Dalam acara itu ia bersama beberapa penyair dari Indonesia, Malaysia, dan Thailand meluncurkan karya masing-masing. Buku antologi Puisi karyanya, Tilas Waktu (Leutikaprio, 2011) yang diluncurkan pada cara tersebut, masuk dalam katalog perpustakaan Cornell University, Yale University dan University of Washington.
Tahun 2013 Ia mencetuskan gerakan Puisi Menolak Korupsi bersama Sosiawan Leak yang di kemudian hari menginspirasi para penyair Indonesia untuk terus bergerak dalam berbagai kegiatan seperti penerbitan buku, roadshow, seminar, workshop, pelatihan, festival baca puisi, di lebih dari empat puluh kota di Indonesia. Pada akhir tahun 2016, Komisi Pemberantasan Korupsi menggandeng Gerakan Puisi Menolak Korupsi dalam rangka peringatan Hari Anti-Korupsi Internasional, di Kota Pekanbaru, di mana Heru hadir sebagai salah satu pembicara.
Nah puisi “Membaca Ibu” itu langsung “menyetrum” saya sehingga saya langsung minta izin ke sang penyair untuk membuat musiknya. Saya kira saya bakal bikin beberapa hari lagi, jadi saya bikin sketsa dulu dong, biar nggak lupa. Eh ternyata itu puisi sangat kuat, baik secara organik maupun metaforik sehingga musik saya langsung jadi deh, bahkan saya bikin pas nyalain rice cooker, dan begitu nasi sudah jadi bub… eh belum, sudah matang maksudku, itu puisi juga sudah kelar! Belum matang sih, tapi sudah kelar, dan hari berikutnya saya revisi-revisi dikit (termasuk intronya yang tadinya benar-benar sama dengan melodi vokalnya pas masuk, jadinya ini saya bikin minor). Tapi sebelum saya revisi itu, saya screenshot kerjaan saya dan kirim partiturnya ke Heru Mugiarso untuk membalas emailnya yang memberi saya izin membikin musik ini, saya post di Facebook juga (mas Heru ini facebooker amat sih soalnya) dan tulis “ini sudah jadi tapi baru besok saya email ya mas, biasanya saya inapkan dulu semalam atau dua, untuk kemudian saya revisi-revisi”. Nah, sebelum saya kirim versi finalnya itu, ternyata beliau bikin puisi tentang proses ini! Jadilah puisi ini, dan saya sih senang banget karena ini baru pertama kalinya proses dan partitur saya (bukan musik yang bunyi loh ya) itu menginspirasi untuk jadi puisi. Nah, saya mau share deh ke anda semua, puisi yang indah dari Heru Mugiarso ini. Selamat menikmati 🙂