oleh Ananda Sukarlan
Ketika Governor – General of the Commonwealth of Australia David Hurley dan istrinya berkunjung ke Jakarta, saya diminta melalui Kedutaan Besar Australia untuk konser di Ballroom Hotel Raffles, yang kemudian disusul dengan jamuan makan malam dengan beberapa tokoh pemerintahan dan bisnis, semua alumni dari berbagai universitas di Australia. Sebagai Gubernur Jenderal, beliau adalah perwakilan dari Raja Inggris Charles III untuk Australia, dan jelas sekali beliau adalah pecinta musik klasik. Permintaannya spesifik: beliau ingin musik saya dengan formasi musik kamar, untuk piano dengan 3 atau 4 pemain lain, walaupun saya juga diminta memainkan satu atau dua karya piano solo. Jadilah saya mengajak rekan-rekan musikus muda Isabelle Sharon – biola, Chris Chandra – viola (biola alto) dan Fariz Triandy – cello untuk memainkan Piano Quartet saya, Variations on Cornel Simanjuntak’s “Tanah Tumpah Darahku. Selain itu, saya meminta Isabelle dan Fariz untuk memainkan duo jenaka Passacaglia on Soleram untuk biola dan cello. Sebuah diplomasi budaya yang sangat mulus dan indah. Tentang event ini, silakan klik saja link ini deh
Ananda Sukarlan Sampaikan “I Wish” ke Gubernur Jendral Australia dan Menteri RI, Maksudnya? – infonawacita.com INFONAWACITA.COM, JAKARTA – Komponis dan pianis Ananda Sukarlan persembahkan World Premiere karya barunya yang menjadi bagian dari seri “I Wish” di depan David Hurley, Governor – General of the Commonwealth of Australia serta Menteri Koordinator Bidang Perekonomian RI, Airlangga Hartarto hari Rabu, 15 Mei lalu di Ballroom Raffles Hotel di bilangan Kuningan, Jakarta. Acara tersebut […]infonawacita.com |
. Di tulisan ini saya ingin fokus ke musiknya itu sendiri dan menjawab pertanyaan :
Kenapa Musik Kamar?
Keintiman dan intensitas yang menjadi inti musik kamar (chamber music) dapat mengekspresikan emosi yang kuat dan bervariasi. Begitu pula dengan penontonnya yang setia dan biasanya memang bukan hanya nge-fans berat, tapi juga berpengetahuan luas tentang repertoar dan para musisi yang menampilkannya. Di Indonesia dan banyak negara Asia, musik kamar belum sepopuler di negara-negara Eropa, Amerika dan Australia. Saya ingin mengadakan lebih banyak lagi konser musik kamar, dan sekalian membuka telinga penonton tentang indahnya genre ini.
Mendatangkan penonton baru sambil terus memuaskan pendukung inti yang setia merupakan tantangan yang dihadapi semua organisasi seni pertunjukan. Menjelang Kompetisi Piano Nusantara Plus dimana ada kategori untuk Musik Kamar, inilah saat yang tepat untuk membahas esensi dari jenis musik yang sudah berusia berabad-abad namun masih sangat aktual ini, terutama saat ini ketika budaya, genre, dan gaya yang melintasi batas telah menjadi bagian yang diterima dari semua seni termasuk musik ‘klasik’. Kita perlu memastikan bahwa musik kamar dapat bergerak maju secara dinamis, menjaga komitmennya terhadap standar tertinggi pertunjukan klasik, membawa serta penonton saat ini sekaligus membuka pintu bagi pecinta musik kamar baru.
Musik kamar dari berasal dari Eropa, mulai populer saat Joseph Haydn (komponis Austria, 1732-1809) menciptakan 68 kuartet geseknya (dua biola, biola alto dan cello). Untuk melakukan perubahan, kita perlu memahami dari mana kita berasal, bukan?. Salah satu definisi musik kamar yang paling banyak dikutip ditulis oleh sastrawan Jerman, Johann Wolfgang von Goethe: “Anda mendengarkan empat orang yang berakal sehat berbicara, Anda menyimak percakapan mereka secara keseluruhan, dan Anda menjadi kenal karakter individual dari setiap instrumen tersebut.” Goethe kelihatannya mengacu ke kuartet gesek Haydn, tetapi gaya “percakapan” musik kamar apapun formasinya, tetap menjadi bagian utama dari daya tarik cabang musik klasik ini hingga saat ini.
Istilah “musik kamar” diambil dari gagasan bahwa ini adalah musik untuk ruangan kecil.
Mulai abad ke-20, musik kamar terkadang bisa dipagelarkan di gedung konser yang besar, namun tempat yang ideal tetaplah tempat yang dapat menampung lebih sedikit penonton, tempat yang dekat dengan pertukaran intim para musisi dan penonton dapat merasa menjadi bagian dari – atau setidaknya menguping – percakapan musikal sang pemain.
Setiap anggota ansambel baik duo sampai nonet (sembilan orang) memiliki tanggung jawab penuh atas kualitas musiknya. Ini adalah genre yang demokratis, di mana kepemimpinan berpindah-pindah, dan semua orang pada saat tertentu menjadi solois yang menentukan ekspresi, ritme, tempo dan arah tujuan musiknya. Beda dengan suatu orkes dimana kepemimpinan selalu dipegang oleh sang dirigen, di musik kamar, interpretasi bersifat kolaboratif – setiap musisi mempunyai suara dalam cara komposisi disajikan, dan anggota ansambel mendengarkan dengan cermat satu sama lain. Ini juga berarti pertunjukan bisa sangat spontan, fleksibel bahkan improvisatif. Karena musisi dan penonton tidak terpisah jauh, musik kamar biasanya bersifat akustik. Jarang sekali ada kebutuhan atau tempat untuk melakukan amplifikasi dalam dunia yang intim, hampir introvert, dan harus didengarkan dengan cermat ini. Kita bukan mendengar orkes dalam skala yang lebih kecil, kita mendengar intensitas yang lebih tinggi, dan semua detail yang dimainkan setiap pemain terdengar jauh lebih jelas. Sebagai seorang pemain, saya percaya bahwa musik kamar dimulai pada tingkat “individu”. Siapakah “aku” sebenarnya? Aku dapat mencoba menyembunyikan diriku dalam satu grup besar, tetapi dalam musik kamar kita tidak akan pernah berhasil. Sebagai pemain solo, kita bisa lebih egosentris, tapi dalam grup musik kamar, kita menunjukkan siapa diri kita dan bagaimana kita berkomunikasi dengan sesama.
Musik kamar itu apa sih intinya? Meskipun kadang-kadang ada teks dan vokal (di Tembang Puitik yang tidak selalu hanya dengan piano, tapi bisa dengan instrumen lain seperti karya baru saya “Two Australian Poems” untuk soprano dan string quartet), biasanya musik kamar bersifat instrumental. Hal ini bisa bersifat abstrak, tentang musik itu sendiri — cara menjalin berbagai melodi di setiap instrumen yang kemudian menghasilkan harmoni yang sering bisa menakjubkan — serta arsitektur karya tersebut. Namun musik kamar juga merupakan sarana yang luar biasa untuk mengkomunikasikan perasaan atau narasi pribadi – misalnya saja String Quartet “Intimate Letters” karya Janacek, atau String Quartet no. 8 karya Shostakovich, yang ditulis dalam tiga hari sebagai respons terhadap kehancuran kota Dresden di Jerman. Atau Kuartet no. 1 “From my Life” karya Bedrich Smetana, yang secara eksplisit bersifat otobiografis yang mengharukan.
Tentu ada publik yang lebih luas untuk musik kamar, namun hanya para musisinya sendirilah yang dapat berkomunikasi dan merayu pecinta musik baru untuk menikmatinya, bukan strategi komunikasi dan marketing melalui influencers yang notabene tidak mengerti esensinya. Musisi kamar generasi tua dan muda memegang kunci inovasi pemrograman. Dengan kekayaan dan keragaman musik yang tersedia selama berabad-abad, bentuk ini, seperti seni apapun, akan terus berubah dan berkembang. Itu sebabnya saya ingin bahwa musik kamar memegang peranan penting di Kompetisi Piano Nusantara Plus, karena seorang pianis tidak harus (dan memang di Indonesia tidak cukup tempatnya!) menjadi solois yang konser piano solo terus. Banyak pianis di Indonesia yang belum merasakan asiknya main musik kamar. “Collaborative pianist” sekarang istilah kerennya. Bukan hanya asik saat latihan bersama, didengarnya pun asik! Dan soal virtuositas, nggak kalah dengan karya-karya piano solo loh. Bahkan banyak Sonata duo yang terkenal dengan virtuositasnya, saya dulu sering main Cesar Franck untuk biola dan piano, terus beberapa Beethoven untuk cello dan piano, juga Shostakovich. Sama sekali nggak mudah, tapi asiknya dobel karena ada yang diajak menderita dan ketawa-ketawa bersama!
Bukankah semua bentuk seni berubah seiring berjalannya waktu? Tentu, dan itu sebabnya Undang-Undang Kebudayaan no. 5 tahun 2017 datang seperti oase di gurun pasir. Musik klasik, dengan sarana kreasi ulang dan reproduksi secara live dan teknologi online, menawarkan kepada penontonnya kemewahan untuk dapat melihat kembali sejarah, untuk mengapresiasi hal-hal baru sambil memahami dari mana perkembangan kontemporer berasal. Pemusiknya dapat menawarkan konteks yang menunjukkan bagaimana komposer dan musisi masa lalu meletakkan dasar pembuatan musik abad ke-21. Musik kamar adalah cabang pembuatan musik yang “serba guna”. Selain “portable” karena formasi yang kecil, musik kamar cocok untuk hubungan kolaboratif inovatif yang menggabungkan kejayaan masa lalu dengan ide-ide baru. Seperti kombinasi kuartet gesek dan didgeridoo di Barton & Brodsky di Australia, musisi kamar lokal telah berkolaborasi selama bertahun-tahun dengan musisi taonga pūoro, dengan koreografer dan penari, dan dengan instrumentalis yang tidak selalu ditemukan di gedung konser klasik.
Kolaborasi semacam ini merupakan peningkatan bentuk seni, menjaga integritas dan kualitasnya, dan jalur yang berfokus pada masa depan ini telah menarik audiens baru sekaligus memperluas pengalaman pecinta musik kamar dalam jangka panjang.