Manusia butuh adanya pengharapan. Harapan akan perasaan cinta, hidup nyaman, masa depan cerah, pakaian nyaman, makanan cukup, dan rumah hangat. Pengharapan membuat manusia mau terus melangkah, bertumbuh, dan berkarya. Pengharapan jugalah yang diperjuangkan dan disebarluaskan oleh komponis dan pianis Indonesia, Ananda Sukarlan. Harapan akan adanya apresiasi besar dan meluas oleh masyarakat Indonesia, utamanya pegiat musik, untuk karya seniman Indonesia. Ananda Sukarlan mengajak pegiat musik untuk sejenak saja memalingkan wajah dari kekaguman (yang mungkin sah kalau saya bilang ‘sedikit berlebihan’?) pada karya seniman Barat ke karya seniman rumah sendiri.
Nusantara adalah kata yang digaungkan kembali oleh pendiri sekolah Taman Siswa dan Menteri Pendidikan Indonesia yang pertama, Ki Hadjar Dewantara untuk menyebut Indonesia. Nusantara menggambarkan budaya yang hidup. Ia bukan istilah untuk barang mati, bukan sekadar menyebut sebuah negara yang punya lebih dari 120 gunung berapi dan terdiri dari 17.500 pulau di tengah garis khatulistiwa. ‘Nusantara’ hidup dan terus bertumbuh. Ia belajar dan menyesuaikan diri dengan lingkungan sekitarnya. Saya meyakini itu menjadi sebab utama Ananda Sukarlan memilih judul Rapsodia Nusantara untuk karya-karya monumentalnya. Karya musik yang juga selalu berkembang, belajar, dan bertumbuh. Bukan karya musik yang mati dan butuh dikonservasi. Rapsodia Nusantara, adalah senjata Ananda untuk menebar harapan. Harapan akan anak bangsa yang mengenal semangat hidup dan perjuangan seniman besar Indonesia lewat karya mereka.
Sebut saja Liberty Manik, Saridjah Niung (lebih dikenal dengan nama Ibu Sud), Alfred Simandjuntak, dan juga semangat yang muncul dari musik daerah seperti Soleram asal Riau, Bungong Jeumpa asal Aceh, dan Padhang Wulan asal Jawa Tengah. Juga ada Dayung Sampan asal Banten yang pernah dinyanyikan penyanyi Taiwan Teresa Teng, yang pernah singgah ke Indonesia dan mendengar lagu tersebut lalu mengubah liriknya ke dalam bahasa Cina berjudul Tian Mi Mi. Berikut adalah link YouTube penampilan Ananda berlatih sebelum konser membawakan Rapsodia Nusantara No. 36 yang ditulis berdasarkan lagu Dayung Sampan.
“Keseragaman kita adalah keberagaman,” ujar Ananda yang rajin bersepatu selen (beda warna kanan dan kiri). Nusantara punya jutaan warna berbeda. Mulai dari warna kulit, agama, ras, suku, bahasa, makanan tradisional, hingga musik yang hidup di dalamnya. Beragam musik khas tiap daerah itu hidup, bertumbuh, dan kemudian menjelma menjadi musik rumit yang dipergelarkan dalam Konser Piano Nusantara, Minggu 3 Maret 2024 di Gedung Yamaha Musik Indonesia, Jl. Gatot Soebroto. Sang Komposer sendiri bersama tiga pemenang kompetisi Ananda Sukarlan Award 2023, Osten Christo Harianto (14), Victor Clementius Ditra (16), dan Callista Kertalesmana (13) berjuang menampilkan kekayaan Nusantara itu di dalam ruang konser modern dengan piano flagship Yamaha CFX yang kualitas suaranya sungguh mengagumkan.
Baik Osten, Victor, maupun Callista sungguh pantas memainkan tuts piano yang sama dengan komponis berkacamata biru yang pernah meraih penghargaan ksatria tertinggi dari Italia itu. Mereka adalah chef yang mampu menyajikan bahan masakan tradisional sederhana menjadi masakan mewah di restoran fine dining. Penampilan ketiganya sungguh meyakinkan. Bersama ketiga pianis juara itu, tampil pula pianis muda lainnya Yonggi Fayden Cordias Purba, Yohana Heny Calysia Gultom,Tijan Makenna Ri Kesatu, Candy Lieve Tilana Lim, Axelle Dimaz Khan Ristyoputra, Aurelia Angeline Arief Tanubrata, Alfonsus Jastin Dat Malem Surbakti, dan Jose Tumpal Pakpahan. Ananda sendiri sering bilang musikalitas anak Nusantara sangat tinggi. Nusantara pantas menaruh harapan besar pada masa depan musik terutama piano klasik.
Duduk di kursi penonton baris paling belakang, saya bangkit berdiri dan ikut ‘menyanyikan’ lagu demi lagu yang penyaji tampilkan. Variations on Liberty Manik’s “Satu Nusa Satu Bangsa” yang ditampilkan Osten contohnya. Rasa haru menyelimuti hati saya. Sungguh betapa besarnya Nusantara kita ini. “Saya membayangkan Indonesia punya banyak sekali pulau. Namun, meski begitu, kita tetap jadi satu. Satu di dalam musik,” ujar Osten.
Osten, Victor, Callista, dan penampil lainnya bisa dibilang cukup beruntung karena sudah mendapatkan kepercayaan dari Sang Maestro. Bagaimana dengan pemusik lain, utamanya di daerah, yang belum pernah menikmati spotlight? Ananda, sekali lagi, mengipaskan angin harapan. Kompetisi Piano Nusantara Plus menjadi senjata ampuh Ananda untuk meraih bakat-bakat muda terpendam Nusantara. Kompetisi ini membuka kesempatan bagi pemusik instrumen apapun untuk ikut terlibat, termasuk vokal klasik tentunya. Kompetisi ini dilangsungkan di banyak kota Nusantara, yaitu Bogor (25 Agustus), Bandung (1 September), Medan (8 September), Tangerang (15 September), Bekasi – Cikarang (29 September), Depok (6 Oktober), Palembang (26 – 27 Oktober), dan Jakarta (8 Desember). Oh, satu lagi keistimewaan kompetisi ini, yaitu peserta wajib menampilkan karya komposer Nusantara. Indah sekali, bukan? Informasi lengkap terkait kompetisi ini bisa diperoleh di @pianonusantaraplus.
Ananda adalah anak Nusantara. Ia mendapatkan banyak kenikmatan dan keindahan dari Nusantara. Sekarang saatnya Ananda untuk kembali memberi ke Nusantara. Ananda memilih untuk memelihara harapan pegiat seni Nusantara. Harapan akan adanya perasaan dikenal, dicintai, dimiliki, dan diapresiasi di negeri sendiri.