Di apartemennya yang lusuh dan sempit, Beethoven berteriak-teriak. Ia menekan tuts piano dengan kasar hingga senar putus. Perangainya kasar dan cepat marah. Orang sekitar menganggapnya aneh. Tidak sedikit yang takut dan menghindar berpapasan dengannya. Di usia sekitar 40 tahun, Beethoven kehilangan pendengarannya. Itu membuatnya teramat kesal.
Beethoven berhenti tampil di konser. Ia fokus menulis karya di apartemennya. Sesekali Beethoven menggigit ujung pensil dan menempelkan ujung satunya ke instrumen yang berbunyi untuk merasakan frekuensi nada.
Penampilan perdana Beethoven Choral Symphony No. 9, simfoni pertama di dunia yang melibatkan solois vokal dan paduan suara dalam jumlah besar, pun terpaksa dipimpin dirigen lain bernama Michael Umlauf. Namun Beethoven ingin ikut tampil. Ia berdiri di samping dan ikut mengaba meskipun seluruh pemain musik berfokus pada Umlauf. Di akhir pertunjukan, tepuk tangan penonton bergemuruh keras sekali. Kekaguman luar biasa pada karya megah sang komposer. Beethoven diam saja. Berdiri membelakangi penonton. Ia tidak mendengar suara apapun. Seorang penyanyi alto berlari turun mendekatinya. Ia menyeret lengan sang komposer dan membalik tubuhnya.
Beethoven Choral Symphony No. 9 menggambarkan perjuangan menyusuri kegelapan. Pelan merangkak menuju terang. Bagian finalnya menceritakan kemerdekaan, persamaan (equality), dan persaudaraan universal yang menjadi puncak perjalanan. Musik Beethoven dan lirik Ode to Joy karya penyair Jerman Friedrich Schiller (judul asli ‘An die Freude’) memanggil semua orang ikut terlibat dalam menciptakan dunia penuh perdamaian, kebahagiaan, dan kemerdekaan (peace, joy, and freedom). All people become brothers.
Ajakan itu menggema jauh hingga sampai ke telinga penyanyi alto Indonesia, Brigitta Dyah Utami Immanuella (26) yang akrab disapa Kak Tami. Kepala Divisi KlasNol sekaligus pengajar vokal KITA Anak Negeri itu akan turut menampilkan Beethoven Choral Symphony No. 9 di Jerman bulan September mendatang dalam closing concert World Youth Choir 2024 di Bonn, kota kelahiran Beethoven yang sekaligus menjadi pembukaan Beethovenfest.
Tantangan Tidak (Pernah) Ringan
Di akhir tahun 2023, Kak Tami habis-habisan berkutat dengan tugas akhir Magister Ilmu Psikologi di Universitas Indonesia. Ia sering kelelahan bahkan untuk sekadar mengetik satu kalimat baru dalam tesisnya. Proses penulisan yang panjang sempat membuatnya tidak mau mendengar apapun tentang tesis. Di suatu sore, sekitar pukul empat saat jeda kelas, sambil duduk di kursi piano, tanpa sengaja Kak Tami melihat pengumuman audisi World Youth Choir. Namun sayang, kondisinya jauh dari ideal untuk berlatih mempersiapkan audisi.
Sejak lulus dari Institut Pertanian Bogor dan keluar dari paduan suara Agria Swara (dimana Kak Tami pernah menjabat sebagai Vice President), Kak Tami sering merasa gundah. Ia merasa belum mendapatkan kenyamanan bermusik seperti sebelum-sebelumnya. Mungkinkah audisi World Youth Choir ini adalah jawaban untuk kegelisahannya? “Akhirnya aku putuskan ikut audisi,” ujar Kak Tami yang juga pernah menjadi relawan kegiatan sosial Kita Berkisah. Entah bagaimana, keputusan itu pada akhirnya menyuntikkan tenaga baru untuk Kak Tami merampungkan tesis.
Audisi berlangsung online. Kak Tami diminta mengirimkan rekaman vokal menyanyikan potongan karya Beethoven Symphony No. 9. Ia sadar tidak punya rekan berlatih. Dengan sisa waktu mepet, Kak Tami menulis ulang partitur tenor dan bass, satu per satu, lengkap dengan tempo dan dinamika ke dalam program musik. Partitur itu menjadi ‘rekan’ berlatih dan rekaman. Ia tidak beranjak dari kursi piano dan fokus berlatih bila ada beberapa menit jeda pergantian kelas. Menu makan siang ia lahap cepat dan kembali masuk kelas untuk latihan.
Kak Tami mengaku bukan merupakan pemusik berbakat yang cepat menguasai materi. Ia butuh banyak latihan. “Aku ingat waktu kecil, di hari pertama les nyanyi aku nangis karena enggak bisa-bisa. Tapi minggu depannya aku tetap datang,” kenang Kak Tami. Musik sudah menjadi pilihannya. Ia tetap melangkah.
Kegigihan Kak Tami, mulai dari mengatasi tantangan latihan sejak kecil hingga menyempatkan diri berlatih di tengah kesibukan luar biasa, membuahkan hasil. Ia lolos audisi. Kak Tami menjadi satu-satunya perwakilan Indonesia yang akan tampil bersama World Youth Choir pada akhir Agustus sampai awal September 2024 bersama 93 penampil dari seluruh dunia.
World Youth Choir dimulai sejak 1989 di bawah naungan World Youth Choir Foundation yang mengumpulkan penyanyi berusia antara 17 sampai 26 tahun dari seluruh dunia untuk tampil dalam satu paduan suara. Sampai saat ini, World Youth Choir sudah tampil lebih dari 70 negara dan menjadi simbol global perdamaian dan persatuan. World Youth Choir pernah menjadi Artist for Peace UNESCO pada 1996 hingga 1998.
Anggota World Youth Choir selalu berbeda setiap tahunnya di mana audisi dilangsungkan di seluruh dunia. Semangat yang selalu mereka hembuskan adalah toleransi budaya, kemampuan musikal tinggi, dan persahabatan lintas negara.
Pencapaian Kak Tami tentu jadi kebanggaan kita semua, khususnya sebagai keluarga KITA Anak Negeri. Kepala Divisi Piano Klasik Kak Ananda Sukarlan turut mengucapkan selamat. Ia berharap kabar baik ini bisa tersebar luas dan menjadi pemacu semangat pemusik lainnya, utamanya pemusik klasik. Kak Ananda mengajak semua pihak untuk turut mendukung Kak Tami dalam mewujudkan penampilannya di World Youth Choir 2024.
Kak Ananda Sukarlan menitipkan pesan pada semua paduan suara di Indonesia untuk mengirimkan kabar pencapaian demi pencapaian ke media. “Ini semata soal prestasi yang harus diakui publik, dan juga soal membawa nama negara ke dunia internasional,” ujarnya. Kak Ananda sudah menulis musik untuk banyak paduan suara, seperti paduan suara mahasiswa Institut Teknologi Bandung, Universitas Tarumanegara, Vox Angelorum dan masih banyak lagi. “Mereka yang meng-commission saya untuk membuat karya yang virtuosik, bisa menunjukkan teknik vokal, polifoni, dan efek paduan suara, dan tentu saja identitas Indonesia yang unik,” katanya. Namun ia mengaku kesulitan mencari dokumentasi di media terkait penampilan paduan suara, terutama yang menampilkan karyanya. “Saya cuma nemu satu, ini Jakarta Children and Youth Chorus yang meminta saya untuk bikin karya paduan suara “A Hymn For The Olympic Sportsmen” dari penyair lirik Yunani kuno, Pindar (518-448 SM),” ujarnya sambil menunjukkan tautan berita https://nasional.kompas.com/read/2008/06/24/17372920/Paduan.Suara.Anak.Indonesia.Ikut.Festival.di.Hong.Kong.
Pada akhirnya, dengan bijak Kak Tami memutuskan untuk sedikit berjeda. Ia mengambil jarak dari semuanya kemudian berefleksi.
”Aku bersyukur atas semua yang terjadi di hidupku.
Semua pencapaian ini jauh lebih indah dari mimpiku sendiri.
Terlalu indah bahkan.
Aku bertanya,
pantaskah aku mendapatkan semua ini?”
renung Kak Tami sambil tersenyum.
Mata Kak Tami berkaca-kaca saat mengingat kembali, satu per satu, perjuangan tidak ringan dan hal-hal baik yang terjadi dalam hidupnya. Kak Tami memaknai, semua yang terjadi dalam hidupnya, pada akhirnya terasa sungguh indah. Pencapaian demi pencapaian ia rasakan memantaskannya untuk tanggung jawab yang lebih besar. “Semua indah pada waktunya. Bukan waktuku, tapi waktu-Nya,” kata Kak Tami pelan.
Kak Tami juga menyiapkan oleh-oleh untuk sesama rekan pemusik di World Youth Choir. “Oh iya, sekarang Mamaku jahit banyak scarf batik untuk dibagikan di sana,” ceritanya. Dalam beberapa bulan, scarf batik itu akan melingkar lembut di leher Kak Tami dan para penyanyi lainnya.
Scarf batik, yang menggambarkan kesederhanaan, kesabaran, juga ketelitian, seakan bercerita tentang perjuangan Kak Tami. Ketelatenan seorang anak manusia dalam mewujudkan satu demi satu impian kecilnya. Hingga akhirnya semesta melimpahkan hadiah jauh lebih istimewa.
Oh iya, tidak lupa, Ibunda juga menyiapkan kostum pakaian daerah untuk Kak Tami kenakan di Jerman, Belanda, dan Italia. “Warnanya merah. Merahnya menyala. Terang!” ujar Kak Tami. Selamat ya, Kak Tami! (NUG)