Guru baru di sekolah dasar itu melangkah masuk ruang kelas. Tangannya memegang kertas berisi daftar nama siswa. ‘Kelas Unggulan’ demikian judul daftar nama siwa kertas tersebut. “Wah, sangat jarang terjadi guru baru mendapat tugas mengajar kelas unggulan,” katanya membatin. Siswa mulai masuk ke kelasnya. Ia berkenalan satu per satu dan mendapati kebiasaan berpakaian dan cara bicara yang tidak biasa di diri setiap anak.
Ia tahu bahwa siswa sering merasa bosan dan mengantuk di mata pelajaran sejarah. “Ini kelas unggulan, aku harus mengajar dengan cara yang cocok untuk setiap anak di sini,” pikirnya. Ia meminta semua anak duduk berhadap-hadapan untuk berdiskusi. “Apa yang paling kalian tidak sukai dari mata pelajaran sejarah?” tanyanya ke setiap siswa. Ia mengumpulkan semua jawaban dan membacanya detail. Guru baru itu berusaha mengenali secara mendalam karakter, kekuatan, dan kelemahan tiap siswa hingga bisa merancang cara ajar yang paling tepat.
Dalam satu tahun, siswa kelas unggulan itu mendapat nilai paling baik dibanding kelas lain. Kepala sekolah memberi apresiasi khusus kepada guru tersebut. “Bagaimana cara Anda mengajar kelas remedial (kelas untuk para siswa tidak naik kelas) itu sampai mendapat rata-rata nilai sedemikian tinggi?” tanya kepala sekolah. “Maaf, sepertinya Anda keliru, kelas yang saya ajar bukan kelas remedial. Itu kelas unggulan. Ini lembar daftar nama siswanya,” jawab sang guru. “Oh, kami mohon maaf, ada kekeliruan pemberian judul. Itu bukan daftar nama kelas unggulan, itu kelas remedial,” terang kepala sekolah.
Sobat KlasiKITA, cerita di atas membuat kita berefleksi bahwa cara pandang guru terhadap siswa sangat menentukan keberhasilan kegiatan belajar mengajar. Cerita di atas menyadarkan kita bahwa setiap siswa adalah unik dan punya kemampuan belajar masing-masing. Seringkali seorang anak dinilai kurang cerdas berdasarkan tolok ukur orang lain.
“Setiap anak dilahirkan dengan keistimewaan,” ujar Kepala Divisi KlasNol dan Keyboard KITA Anak Negeri, Siska Purwo (@siskapurwo). Kak Siska yang sudah lama berkecimpung di dunia pendidikan musik anak berpesan, setiap pengajar harus punya sense dalam mencermati metode apa yang cocok untuk diterapkan kepada setiap siswa.
“Jadi guru harus kreatif!” tegas Kak Siska yang juga aktif menulis lagu anak ini. Ia mengibaratkan memilih metode ajar untuk siswa ibarat berhadapan dengan 1000 pintu dimana kita bisa memilih pintu mana yang bisa kita masuki. “Satu, dua, atau tiga pintu ternyata mentok, tenang saja, masih ada ratusan pintu lain yang bisa kita coba,” ujar instruktur yang ramah dan paham betul cara mengajar anak-anak seperti yang bisa kita saksikan lewat video ini https://www.youtube.com/watch?v=fwHCgFqx2d0.
Salah satu pengajar Divisi Piano Klasik, Nadia Herawati juga berpendapat serupa. “Kita harus menyadari keistimewaan dari setiap murid yang kita ajar. Justru di sinilah seninya menjadi pengajar,” kata Kak Nadia yang adalah lulusan program studi Musik Universitas Pelita Harapan ini. Kak Nadia menambahkan, pengajar yang sangat mengenal siswa akan lebih mudah membangun relasi (bonding). Relasi yang baik bisa membuat pengajar menemukan metode ajar yang cocok dan mendorong siswa memecahkan masalah yang dihadapi dalam proses belajar. “Karena setiap pribadi anak yang kita ajar adalah istimewa dan unik. Jadi sebenarnya mengajar itu bukan hanya perkara kemampuan membaca not balok,” tegasnya.