Karya musik tidak pernah sama. Ada banyak pengaruh yang menjadikan sebuah karya musik menjadi begitu. Genre mungkin salah satu faktor yang paling kentara. Hasilnya pun selalu bisa kita nilai. Banyak karya musik yang bagus, banyak pula yang kurang bagus. Tetapi di sisi lain, kita juga bisa menilai musik dari makna yang terkandung dalam karya musik tersebut, meski memang sifatnya subjektif. Seorang musisi atau kelompok musik yang membuat karya hampir selalu memasukkan makna tertentu. Sedikit sekali yang tidak. Dan dari yang sedikit itu, KITA Anak Negeri sudah merangkumnya menjadi tiga. Apa saja sih? Yuk kita simak!
- Aphex Twin – Come to Daddy (1997)
Sebenarnya Come to Daddy adalah sebuah extented playlist (EP). Rilis pada tahun 1997, EP ini dinilai cukup revolusioner pada zamannya. Gara-gara Come to Daddy dan EP lain yang menyusul dua tahun kemudian, Windowlicker, nama Aphex Twin alias Richard David James dipuja sebagai seorang jenius. Pria British ini berhasil menanamkan pengaruh musikalnya kepada musisi-musisi modern yang biasa kita kenal sekarang-sekarang. Sebut saja Daft Punk, Limp Bizkit, Radiohead, sampai John Frusciante mantan gitarisnya Red Hot Chili Peppers.
Cuma ya gitu, kadang-kadang kita suka heran soal batas yang jelas antara ‘jenius’ dan ‘tak waras’. Entah kuping kita yang norak gara-gara keseringan makan seblak atau gimana, anehnya begitu kita dengerin Come to Daddy yang dipuja ini impresinya cuma satu: bingung. Isinya cuma bunyi-bunyian elektronik tak terjelaskan dan tak punya juntrungan.
Lagu unggulan EP ini yang berjudul sama, Come to Daddy, pun begitu. Aneh. Liriknya hanya kalimat “I want to eat your soul, come to daddy” dengan tendesi pedofilia yang diulang-ulang dalam suara yang di-sampling jadi mengerikan. Bahkan, Richard sendiri mengakui betapa tak bermaknanya album ini, “Come to Daddy tercipta saat aku sedang kongkow-kongkow di rumah, kesel dan membuat jingle death metal butut ini. Kemudian ia dipasarkan dan video (klip)-nya dibuat, dan ide kecil-kecilan yang kupunya ini, yang hanya lelucon, menjelma jadi sesuatu yang besar. (Rasanya) tak benar sama sekali,” katanya dia sih gitu.
- John Cage – 4’33” (1952)
4’33” adalah magnum opus-nya John Cage, komposer gokil abad ke-20 asal Amerika. Komposisi ini barangkali adalah satu-satunya lagu yang memungkinkan pendengarnya tak perlu mendengar. Lho kok bisa? Iya, sebab 4’33” hanya berisi keheningan yang berdurasi 4 menit 33 detik. Sulit membayangkannya? Lihat saja gambar partiturnya di atas, kamu juga bisa mencari video permainan live-nya di YouTube. Komposisi ini juga lumayan banyak yang meng-cover di YouTube. Segala macam musisi dari berbagai genre dengan alat musik yang macam-macam sudah pernah coba menjajal lagu ini, mulai dari cover death metal sampai full orkestra semua ada.
- Radiohead – Kid A (2000)
Album ini bukan album sembarangan. Kid A kerap dituding sebagai album terbaik sepanjang masa. Ia juga menjadi semacam titik balik bagi Radiohead, sebuah band Britania Raya yang sebelumnya dikenal dengan single galau depresional bergaya self-hatred-nya, Creep. Buat fans yang mengikuti awal karir Radiohead saat itu, album ini bisa dibilang adalah lelucon paling tidak lucu. Tak ada lagi raungan gitar mencak-mencak khas Jonny Greenwood, tak ada lagi vokal sangar-sangar cantiknya Thom Yorke, tak ada pula narasi-narasi lirik keren yang sebelumnya menjadi sebab puja-puji dilayangkan buat Thom Yorke sebagai salah satu lirikus terbaik di dunia. Gantinya, kamu bakal mendapatkan bunyi–bunyian ambience dan ketukan drum elektronik mencekam yang distrukturisasi secara janggal, gaya baru nyanyian Thom Yorke yang lebih mirip orang lagi bergumam, dan sekumpulan lirik tak masuk akal yang tidak mungkin buat dicerna orang waras, seperti “Yesterday I woke up sucking a lemon“. Um… what?
Kid A tidak bicara mengenai apapun. Tidak dibuat dengan pesan apapun. Tidak untuk memaknai apapun. Dan, tidak berarti tentang apapun. Meski begitu, dengan kesadaran betul akan kekosongannya, dunia menganugerahi Kid A dengan Grammy pada tahun 2001, tak lupa juga memberikan predikat sebagai album musik terbaik era milenium awal. Terdengar sinting? Tentu saja!
Nah, itu tadi tiga karya musik populer yang paling ‘tak bermakna’ di dunia. Lumayan kan buat bahan referensi? Eits, tapi diingat ya, musik selalu objektif, termasuk soal bagaimana orang-orang menafsirkannya. Barangkali karya-karya yang kurang bermakna malah jadi sangat bermakna buat beberapa orang. Bisa karena ada kedekatan emosional, selera yang berbeda dengan orang kebanyakan, ataupun alasan-alasan lainnya. Intinya, musik tidak boleh dihakimi bagaimanapun kedengarannya ya guys!
Baca Juga
Sebuah nama memiliki makna dan arti tersendiri. Begitu juga halnya dengan nama band. Bagi sebuah band, nama akan menjadi identitas yang melekat dan dikenal oleh banyak orang.