Sebuah billboard besar terpampang di pintu gerbang Titan Center. Pada billboard tersebut, tulisan emas “The Duo Maestro” terpampang di bawah foto hitam putih Iskandar Widjaja yang terlihat serius dengan biolanya dan Ananda Sukarlan yang terlihat ceria dengan pianonya. Ananda Sukarlan adalah kepala divisi piano klasik di KITA Anak Negeri, seorang pemain piano Indonesia yang menetap di Spanyol, sudah mengadakan banyak sekali konser bergengsi di dunia, dan mengeluarkan belasan album. Selain namanya dimuat di edisi 1995 The Guiness Book of World Records untuk memainkan 38 karya baru sekaligus, ia juga satu-satunya orang Indonesia yang tercatat di buku The 2000 Outstanding Musicians of the 20th Century. Sementara, Iskandar Widjaja adalah seorang pemain biola kelahiran Berlin, berkewarganegaraan Jerman keturunan Indonesia campuran, Cina-Medan dari sisi ibu dan Belanda-Arab-Maluku dari sisi ayahnya. Ia mulai belajar biola di umur empat tahun, bermain Vivaldi Concerto umur tujuh tahun, diterima di perguruan tinggi umur sebelas tahun, dan menerima berbagai penghargaan bergengsi seperti The Gold Medal of the first International Violin Competition, Jugend Musizert; best Bach and best Beethoven sonatas in the XXI Concorso Violistico Internazionale Postacchini, Julios Junior – Young Talent category, sudah tampil di Berlin Philharmonic, Sydney Symphony Orchestra, the Dubrovnik Symphony Orchestra, dan banyak sekali konser bergengsi lainnya selama tur konsernya keliling dunia. Selain itu ia juga sudah mengeluarkan empat album yaitu Bach ‘N’ Blues, Precious Refuge, Tango Fuego, dan Burn.
Acara konser mereka dimulai pukul empat hingga enam sore, namun pukul setengah empat saya sudah berada di lobby Titan Center. Sembari menunggu konser dimulai, para audiens, termasuk saya dipersilakan menikmati suguhan teh, kopi, croissant, dan danish pastry. Sambil menikmati croissant dan teh, saya melihat sekeliling. Para audiens yang datang nampak cukup bervariasi dari segi usia, jenis kelamin, kewarganegaraan, dan gaya busana. Walaupun datang dengan segala perbedaannya, yang berkumpul disana memiliki tujuan yang sama yaitu untuk menyaksikan The Duo Maestro. Entah karena sangat ingin melihat penampilan Iskandar Widjaja, atau sangat ingin melihat penampilan Ananda Sukarlan, atau sangat ingin melihat keduanya sekaligus. Konser kali ini memang sangat spesial karena untuk pertama kalinya para maestro itu tampil bersama di panggung sebuah gedung konser. Setelah selesai dengan croissant, teh, dan para audiens lainnya, saya mulai memperhatikan rundown yang dibagikan. Rundown tersebut berdesain dan berwarna senada dengan billboardnya, yaitu hitam, putih dan emas. Struktur acara konser yang tertera mirip seperti 3 course meal. Untuk “appetizer” ditampilkan komposisi romantik dari Frédéric Chopin: Nocturne in C Sharp Minor, minimalis dari Arvo Pärt: Fratres, dan klasik dari Ludwig van Beethoven: Piano & Violin Sonata No. 8 in G Major, saya bayangkan mereka akan berduet pada “appetizer”. Kemudian untuk “main course” ditampilkan komposisi kontemporer klasik dari Yiruma: River Flows in You, lalu lagu Bimbo: Melati dari Jayagiri, kemudian lagu Ismail Marzuki: Indonesia Pusaka, dan lagu Ibu Sud: Tanah Airku dengan versi medley, saya bayangkan mungkin area “main course” yang baru saya deskripsikan adalah Iskandar.
Tapi, dibawahnya tertera komposisi Ananda Sukarlan: Rapsodia Nusantara No. 10 dan Rapsodia Nusantara No. 8, jadi, baik Iskandar maupun Ananda saling berbagi porsi penampilan pada “main course”. Untuk “dessert”, mereka berbagi porsi lagi untuk menampilkan komposisi masing-masing, Ananda Sukarlan: Sadness Becomes Her dan Iskandar Widjaja: Burn. Namun, sayang ada beberapa salah ketik fatal pada rundown yang dicetak dengan kertas mengkilap itu. Detail-detail yang cukup disayangkan sebetulnya, Frédéric Chopin yang disingkat F. Chopin malah tertera 7 Chopin, lalu Arvo Pärt dengan komposisinya Fratres malah tertera A Part: Frates, lalu komposisi Beethoven Piano &Violin Sonata No. 8 in G Major malah tertera Sonata Nn 8 Im G-Major, kemudian komposisi Yiruma dan Ananda Sukarlan sama-sama kekurangan huruf “s”. Selain itu, pengelompokkan komponis dan judul komposisinya juga tidak disamakan dari atas hingga bawah, ada yang mendapat keterangan komponis, ada yang hanya judulnya saja. Saya hanya terpikir, mungkin penulisan rundown ini dibuat terburu-buru sekali oleh seorang asisten yang ditugaskan (yang nampaknya kurang terampil dalam menjalankan tugasnya) dan tidak dicek ulang oleh para maestronya yang sangat sibuk (karena memang itu bukan tugas mereka juga). Walaupun publikasi konser telah dilakukan dari dua hingga empat bulan sebelumnya, pemusik profesional sekaliber Ananda Sukarlan dan Iskandar Widjaja dengan jadwal mereka yang sangat padat mungkin saja baru sempat bertemu dua minggu sebelum waktu konser mereka untuk mulai memikirkan akan membawakan komposisi apa, akan berduet apa, kemudian berlatih bersama.
Menjelang pukul empat, kerumunan audiens semakin ramai, semakin banyak remaja perempuan dan ibu-ibu yang datang memenuhi lobby. Setelah saya berkeliling sejenak melihat-lihat cd, buku, dan aksesoris yang dijual, jam tangan saya kemudian menunjukkan pukul empat lewat sepuluh, kemudian kami, para audiens dipersilakan masuk ruang konser. Saya beruntung mendapat tempat duduk tiga baris pertama dari depan, ditengah pula. Panggungnya berukuran tidak terlalu besar dengan lantai kayu berwarna coklat muda, dengan dua tangga di kanan kiri panggung. Di atas panggung terlihat baby grand piano dengan kursinya dan microphone, sebuah standing microphone, dan sebuah music stand. Berbeda dengan latar belakang dinding kayu atau tirai pada gedung konser pada umumnya, kali ini latar belakangnya adalah layar proyektor yang menampilkan berbagai gambar. Beberapa saat kemudian, Iskandar Widjaja dan Ananda Sukarlan muncul di atas panggung dengan mengenakan busana yang mengesankan nuansa formal. Iskandar mengenakan kemeja abu-abu dengan celana hitam dan sepatu mengkilap, sedangkan Ananda mengenakan tuxedo lengkap dengan dasi kupu-kupu. Setelah Iskandar mengucapkan beberapa kalimat untuk menyapa audiens dan memberi tahu akan memainkan komposisi apa, mereka berdua kemudian memainkan komposisi Chopin, Part, dan Beethoven yang sudah saya sebutkan sebelumnya pada bagian “appetizer”. Permainan piano Ananda terdengar sangat lembut sementara permainan biola Iskandar yang menjadi melodi terdengar pilu dan menyayat hati pada Nocturne in C Sharp Minor, yang aslinya diperuntukkan untuk piano saja kemudian diaransemen ulang untuk piano dan biola. Chopin terkenal dengan gaya rubatonya, dan komposis tersebut memang sudah sangat terkenal, terlebih karena dimainkan juga di film Roman Polanski yang memenangkan banyak penghargaan, The Pianist. Kemudian pada Fratres, permainan piano Ananda terdengar lembut dan stabil sementara permainan biola Iskandar menghantui ruangan konser dengan nada-nada minornya dan notasi yang rumit, ia juga terlihat sangat ekspresif dan memukau dalam menggesek biolanya dan memetik biolanya sesekali. Fratres merupakan karya unik dengan gaya komposisi tintinnabuli dari Pärt yang dapat merepresentasikan kesedihan, kengerian, keindahan, kesunyian, kesulitan, dan kesederhanaan sekaligus, komposisinya bisa terdengar sangat sibuk dengan padat notasi, lalu bisa sangat sunyi dengan sedikit notasi. Kemudian pada Piano & Violin Sonata No. 8 in G Major baik Iskandar dan Ananda menampilkan komposisi Beethoven dengan struktur sonata Allegro Assai – Tempo di minuetto – Allegro Vivace dengan sangat baik. Ada yang unik juga, selama permainan mereka, lampu sorot di sisi kanan kiri panggung memberi cahaya warna-warni. Setelah menampilkan ketiga karya komponis Eropa tersebut, Ananda dan Iskandar pamit untuk istirahat selama lima belas menit. Saya pikir-pikir selama istirahat, karena kedua pemusik itu juga telah menciptakan komposisi mereka sendiri, karya komponis Eropa yang biasanya menjadi standar acara utama justru dapat mereka letakkan di bagian awal untuk membuka acara, sementara karya mereka sendiri dapat mereka letakkan setelahnya.
Setelah istirahat selama lima belas menit, ruang konser mulai dipadati audiens lagi, diantaranya bahkan terlihat Maylaffayza dan Raline Shah. Ruang konser setelah jeda istirahat terlihat sangat padat, para audiens memenuhi kursi di platinum, gold, dan silver. Beberapa saat kemudian, Iskandar, sendirian muncul kembali di atas panggung, sudah berganti atasan dengan yang lebih kasual, polo shirt biru tua dengat polkadot putih. “Main course” dari Iskandar yang ditampilkanya adalah River Flows in You, Melati dari Jayagiri, Indonesia Pusaka, dan Tanah Airku. Iskandar bermain diiringi oleh music minus one, dilatar belakangi video berbagai gambar bunga dan keindahan alam Indonesia di layar proyektor, dan dihiasi lampu sorot di sekitarnya. Dalam permainannya kali ini, Iskandar harus menggesek biolanya dengan kuat untuk bersaing dengan suara digital dari music minus one yang volumenya cukup keras, tetapi, tentunya ia berhasil memberikan penampilan yang sangat baik dan memukau. Mungkin pilihan karya yang ditampilkannya, gaya busana kasual, pencahayaan warna-warni, dan video yang ditampilkan di layar proyektor selama permainannya adalah pilihannya untuk beradaptasi dengan audiens Indonesia yang tidak memiliki tradisi musik klasik selayaknya di Eropa. Pengaturan panggungnya memang kadang mengalihkan perhatian dari musiknya, namun dapat dikatakan menarik dan menyegarkan karena berbeda dari pengaturan panggung musik klasik konvensional. Setelah Iskandar selesai, Ananda muncul kembali di atas panggung, mengejutkan para audiens karena ia juga telah mengganti tuxedonya dengan busana Bali, kemudian membawakan Rapsodia Nusantara No. 10 yang terinspirasi dari musik dan tarian Bali kemudian juga Rapsodia Nusantara No. 8 yang terinspirasi dari lagu daerah Sulawesi Utara, O Ina Ni Keke. Seri Rapsodia Nusantara adalah character pieces yang merepresentasikan musik dari tiap provinsi di Indonesia, tentunya dengan menaikkan level musikalitas dan kesulitan teknik pianistik hingga batas maksimum. Rencananya Ananda akan membuat 34 Rapsodia, sesuai dengan jumlah provinsi di Indonesia. Permainan piano Ananda sangat memukau audiens, ia menunjukkan bahwa ia sangat menguasai beragam tuntutan teknis yang sulit di tiap karyanya dan menampilkannya seakan itu hal yang sangat mudah untuk dilakukan. Glissando menghiasi penampilannya dan membuatnya menjadi semakin meriah. Beberapa audiens bahkan memberikan standing ovation di akhir penampilannya karena sangat kagum oleh Ananda. Setelah Ananda selesai dan meninggalkan panggung, beberapa saat kemudian ia dan Iskandar mulai memasuki panggung kembali. Mereka akan membawakan karya mereka masing-masing, Ananda dengan karyanya yang lebih sederhana, Sadness Becomes Her dibawakan berduet dengan Iskandar. Kemudian setelah itu, Iskandar membawakan karyanya sendiri yang rumit dan berapi-api yang berjudul Burn, dengan diiringi music minus one dan video musiknya sendiri yang menambah aura performernya dan sangat menggugah para audiens. Iskandar juga menunjukkan bahwa ia sangat menguasai tuntutan teknis yang sulit di karyanya dan menampilkannya dengan sangat ekspresif dan memukau. Di akhir penampilannya, terdengar jeritan para audiens perempuan yang histeris setelah menyaksikan penampilan Iskandar. Setelah itu konser ditutup oleh Ananda dan Iskandar dengan memberikan penampilan tambahan atau encore karena audiens terus bertepuk tangan. Setelah menerima buket bunga dan difoto, mereka meninggalkan panggung ke ruang ganti atau latihan VIP mereka, diikuti oleh kerumunan para audiens yang sangat ingin berfoto bersama mereka.
Secara keseluruhan, konser The Duo Maestro ini sangat sukses dalam menghibur sekaligus mendidik para audiens dengan musik. Selain disuguhi penampilan musik, para audiens juga disadarkan dan dididik bahwa musik adalah bentuk ekspresi yang melampaui kata-kata, yang dapat menyampaikan apa yang tidak dapat dideskripsikan dengan kata-kata, dan mengandung ekspresi emosi. Kemudian, keindahan musik dapat membuat seseorang terpukau dan dapat membuat seseorang bertahan menanggung kesulitan dan kepenatan dalam kehidupan. Penampilan Ananda dan Iskandar sebagai maestro tentu sudah tidak perlu diragukan lagi kehebatannya. Mereka sudah melalui masa-masa latihan, tantangan, dan kesulitan sebagai pemusik selama berpuluh tahun, dan kini mereka hanya perlu terus melatih dan mempertahankan kualitas dan cita rasa yang sudah mereka miliki. Teknik pianistik dan teknik violisitik mereka sudah sangat tinggi sehingga mereka dapat “menjelaskan” konsep musikal dan tuntutan teknis yang sangat sulit dalam tiap karya menjadi sesuatu yang seakan mudah. Tentunya dibalik hal yang terlihat effortless di atas panggung itu ada sangat banyak effort yang dilakukan, selain bakat musikal, juga perlu kedisiplinan tinggi untuk terus belajar dan berlatih serta keputusan pengabdian pada musik seumur hidup mereka. Konser The Duo Maestro sangat mengagumkan, menggugah, dan memukau. Saya tidak sabar menunggu penampilan duet Ananda dan Iskandar yang berikutnya dan berikutnya.