sumber: https://ysanugerah.blogspot.com/2019/05/ambil-alat-tulis-dan-kertas.html?m=1
Ambil alat tulis dan kertas. Klik tautan musik ini (setelah klik langsung palingkan mata Anda supaya tidak melihat judul musiknya). Lalu dengarkan. Anda boleh juga mematikan lampu ruangan. Fokus hanya pada musik. Tenang, santai, rileks, namun teliti dan penuh perhatian. Lihat musiknya. Cium. Raba. Dengar dan kecap. Biarkan musik membawa pikiran Anda terbang jauh. Fantasi membumbung bebas. Nikmati khayalan yang mungkin muncul. Setelah selesai, silakan ekspresikan fantasi Anda di selembar kertas kosong. Boleh berupa tulisan, gambar, apapun!
Bagaimana, Anda menikmati proses berimajinasi? Anda juga bisa menggunakan musik lainnya. Contohnya seperti ini. Sama seperti tadi, dengarkan sambil berfantasi. Lalu ekspresikan di atas kertas. Bebas. Anda boleh menuangkan apapun di atas kertas.
Bagaimana dengan hasil karya Anda? Keren? Apakah Anda mengalami kesulitan dalam berfantasi? Atau mungkin mudah berfantasi tapi kesulitan menuangkan dalam karya di atas kertas? Apakah Anda terbiasa berfantasi? Atau Anda terlalu logis dan menolak berfantasi? (Padahal menurut saya, berfantasi adalah aktivitas paling logis untuk seseorang yang selalu ingin berkembang.)
Berikut karya Bima, seorang pianis muda dari Kita Anak Negeri yang membuat puisi atas musik pertama.
Dunia kosong
Hati bolong
Jiwa mati
Terkubur dalam peti
–Abra Bhumandala Byoma, 5 Mei 2019-
D U N I A || kosong
Juliana Putra (dosen Fakultas Pendidikan Universitas Pelita Harapan) dan Ananda Sukarlan (komposer) tampil satu panggung. Ngeroyok topik berfantasi dalam seni. Tempatnya di auditorium Kita Anak Negeri. Pakaian Julie dan Ananda sama-sama mengandung warna biru. Mungkin janjian mungkin kebetulan. Biru itu teduh. Nyaman. Ramah tapi tegas. Pinter tapi enggak minteri.
Julie bilang dasarnya semua orang punya jiwa seni, “Jiwa seni bisa ada di bidang apapun. Musik, literasi, lukis, tari, drama, arsitektur, bahkan memasak.” Julie sendiri adalah seniman visual. Dia jago foto dan menggambar. Pernyataan Julie bahwa ‘semua orang punya jiwa seni’ cukup melegakan. Artinya ada harapan besar untuk menyelamatkan dunia yang makin sok logis ini. Kalimat terakhir yang sok tahu itu perkataan saya, bukan Julie. Julie bukan orang yang sok tahu.
Meski Julie bilang gitu, tapi judul presentasi Julie adalah ‘Imajinasi yang Hilang’. Saya langsung merasa bodoh. Mengakui diri sebagai orang dengan kreativitas di level 1 dari skala 5 – 10. “Ada masa perkembangan dimana anak melulu diarahkan untuk menggunakan logika, bukan imajinasi,” jelas Julie. “Sekarang coba jawab! Apa warna daun? Apa warna langit?” Sontak sekitar 1.987 hadirin (terutama saya) dengan percaya diri dan wajah ceria berteriak,”Hijauuuuuu!” dan “Biruuuuuuuu!”
…………………………………………………………………………………………………. lalu semua diam, menyadari ketololan masing-masing.
(andai tes penerimaan karyawan menggunakan pertanyaan semacam itu, mungkin lebih dari 90,03% warga Indonesia – termasuk (atau mungkin ‘terutama’?) lulusan universitas top – menganggur.)
Sampai di situ saya sudah merasa bodoh dan benci pada diri sendiri. Sedemikian kaku dan sempit pikiran saya. Lupa kalo langit dan daun punya banyak warna. Belum puas, Julie bertanya lagi, “Siapa yang pernah menggambar gunung?”
aduh…
H A T I || bolong
Sistem pendidikan yang melulu mementingkan logika (otak kiri) mematikan kemanusiaan manusia. Tanpa imajinasi, tidak akan ada internet, telepon, pesawat, dan bahkan sambel kecap sekalipun. “Satu lagi. Rasa takut adalah penghambat terbesar kreativitas!” tegas Julie. Saya ingat ada orang pernah bilang pencapaian besar berada satu langkah di balik ketakutan terbesar.
Bagi yang hidup penuh dengan rasa cemas dan takut, anggap saja punya semacam unlimited home work. Dunia terasa sangat terbatas karena takut menyapa hal baru. Cemas berlebihan. Takut ini itu, takut begini begitu. Yah, berarti kita hanya perlu melangkah lebih jauh dan lebih sering. Itu saja.
Nah, yang berikut ini opini saya : sistem pendidikan kita mengkuantisir berbagai hal. Pemahaman diangkakan jadi nilai. Pencapaian diangkakan jadi ranking. Nilai dan ranking itu penting, iya setuju. Tapi itu cuma media. Nilai adalah media untuk mencapai pemahaman yang dalam. Ranking adalah media untuk memotivasi diri ; mengalahkan target diri. Namun apabila nilai dan ranking menjadi tujuan, matilah kreativitas.
Beberapa bulan lalu Ananda pernah cerita. Babak final kompetisi piano di Eropa biasanya dibanjiri penonton. “Mulai dari guru piano sampai pemimpin orkestra,” katanya. Biasanya pemimpin orkestra datang untuk mencari bakat. “Belum tentu mereka sreg dengan juara satu versi juri kompetisi. Bisa saja mereka justru mendekati juara dua atau tiga karena musiknya dinilai lebih indah.” terangnya. Ini menggambarkan bahwa ranking bukan segalanya.
Imajinasi sangat tergantung dari pengalaman. Adalah mustahil bagi seorang yang tidak pernah tahu atau bersentuhan dengan dunia militer untuk mengimajinasikan musik dengan cerita tentara berangkat perang. Maka luas pengetahuan dan pengalaman berbanding lurus dengan keliaran imajinasi. Keberanian dibutuhkan untuk bisa memperoleh banyak pengetahuan dan pengalaman.
Sekali lagi, rasa takut menghambat kreativitas, kakak…
Mau takut sampai kapan, kakak…
J I W A || mati
Ada orang tua murid bertanya,”Anak saya suka menggubah lagu. Bagaimana cara saya mengarahkannya?” Ananda dan Julie, tanpa rapat koordinasi terlebih dahulu, menjawab sewarna,”Jangan diarahkan.”
Peran orang tua sungguh besar. “Pendampingan orang tua itu primer. Sekolah atau tempat les itu sekunder,” jelas Julie. Orang tua bisa mengajak ngobrol soal karya atau proses berkarya anaknya.
“Tapi saya tidak mengerti teori musik.”
“Saya juga tidak bisa bermain piano.”
Kedua pernyataan di atas terlontar karena niat baik orang tua yang hendak mendampingi anak secara logika (teknik bermain piano dan teori musik adalah perkara otak kiri). Padahal ada yang lebih penting dan asyik, yaitu soal rasa. Semua orang yang buta piano pasti tetap punya ‘rasa’.
“Dengarkan saja musik si anak dan tanggapi dengan rasa. Beri dukungan dan apresiasi. Aktivitas seni bisa jadi media yang menyenangkan untuk membangun relasi orang tua dan anak. Apabila anak menggambar orang bermata satu atau orang dengan tangan ada di atas kepala ya biarkan saja. Beri apresiasi. Jangan selalu diarahkan apalagi dilarang. Itu mematikan kreativitas,” kata Julie.
Saya melihat saat ini kegiatan semacam itu makin langka. Orang tua makin sibuk. Ditambah lagi cenderung menanggapi berbagai hal dengan logika semata. Kaku dan membosankan sekali hidup ini jadinya. Tidak berwarna, huh!
“Musikmu enak banget. Asin dan manisnya pas. Bumbunya enggak berlebihan. Matang dan gurih rasanya. Tapi masakanmu ini kan judulnya Airport Blues, kayaknya penataanmu di piring terlalu ceria deh, ini kan semestinya masakan yang sedih. Biar orang yang makan itu juga ngerasain sedihnya,” mungkin demikian obrolan orang tua yang jago memasak saat mendampingi anak berlatih piano.
Ananda Sukarlan bilang, kita harus membebaskan diri dari berbagai belenggu saat berkarya. Dalam ilmu komposisi, katanya, dipelajari cara orang lain menggubah lagu. Bukan untuk menjadi sama, namun untuk mengetahui perbedaan cara setiap komposer. “Bahwa sebenarnya tidak ada formula komposisi yang baku. Aktivitas seni adalah aktivitas trial and error,” jelasnya. Dengan mengetahui banyak formula, diharapkan seseorang bisa menjadi komposer dengan gayanya sendiri.
“Update informasi dan ilmu pengetahuan juga sangat penting dalam mengembangkan kreativitas berkarya,” tambah sang komposer. Dalam beberapa kesempatan, Ananda pernah menyampaikan bahwa seni adalah gambaran situasi periode waktu tertentu. Oleh karena itu aktivis seni harus selalu memperbaharui informasi. “Nonton film, baca buku, nonton konser, jalan-jalan, diskusi, apapun! Selalu update diri kita!” katanya.
T E R K U B U R || dalampeti
Imajinasi memegang peranan penting sebagai finishing touch dalam penguasaan sebuah musik. Bisa dibilang sebesar 70% adalah penguasaan teknik, sisanya pembentukan imajinasi. “Rumah yang bagus dan mahal sekalipun, apabila tidak dihias dan dihidupi dengan apik dan nyaman akan sekedar jadi house bukan home,” kata Ananda yang tujuh tahun lalu pernah tampil di depan Ratu Spanyol diiringi lebih dari 120 orang pemusik Madrid Symphony Orchestra. Saya lalu membayangkan, untuk bisa tampil semegah itu dibutuhkan penguasaan teknik dan kreativitas imajinasi yang luar biasa.
Omong-omong tentang Ananda Sukarlan, melihat penguasaan teknik dan prestasinya, saya bisa sampai lupa kalau Ananda Sukarlan itu manusia yang lahir di bumi dan juga suka minum kopi enak. Sempat terbayang bahwa dia adalah mesin dari planet Pianorius yang diutus untuk mengembangkan karya musik di bumi. Tapi saat tahu bahwa ia juga suka berimajinasi (lewat banyak judul musik di Alicia’s Piano Book) saya jadi yakin bahwa dia juga manusia sama seperti saya yang main tangga nada saja sering fals.
Bukankah memang itu perbedaan mendasar manusia dan mesin? Sehebat-hebatnya mesin, tetap mustahil untuk berimajinasi dengan liar. Sebaliknya, kalau manusia hanya mengandalkan logika, apa bedanya dengan mesin
Ananda ternyata sering sekali membuat musik atas aktivitas sehari-hari. Saat hendak menceritakan soal kancil pada anaknya, ia membuat musik. Saat berada di bandara dan merasa sedih karena harus berpisah, ia membuat musik. Saat melihat matahari terbenam, ia membuat musik. Saat menggendong anaknya yang masih bayi dan akan tidur, ia membuat musik.
Menurut saya, hal semacam itu bisa muncul karena Ananda sanggup memaknai setiap hal kecil. Mungkin tidak ada kata ‘remeh’ atau ‘sepele’ dalam kamus hidup Ananda. Setiap hal dimaknai dan dirasakan mendalam. Bukan untuk menjadi tegang atau super-serius, namun untuk menggali keindahan yang tersimpan dalam setiap hal.
Ananda sedikit membuka rahasia. Musik klasik (yang lebih sering ia sebut sebagai musik sastra) lebih mendorong kreativitas imajinasi ketimbang jenis musik lainnya. Salah satunya karena tidak adanya lirik. Berbeda dengan musik popular yang memiliki kekuatan besar di lirik. “Pada musik pop, imajinasi pendengar cenderung diarahkan lewat lirik. Sehingga mendengarkan musik popular pun jadi jauh lebih mudah ketimbang musik klasik,” jelasnya.
Ia mencontohkan sebuah musik popular karya Toni Wine dan Carole Bayer Sager berjudul A Groovy Kind of Love. Melodi musik itu diambil dari Sonatina in G Major Op. 36 No. 5 (3rd movement) karya Muzio Clementi. Ananda menambahkan,”Banyak orang yang tahu musik A Groovy Kind of Love. Namun sedikit sekali yang tahu musik Clementi meskipun justru itu sumber musiknya.”
*makasih Bima untuk izin mencantumkan puisi karyamu!