Hai gengs!
Jadi ceritanya malam minggu (4/11) lalu, KITA Anak Negeri nonton konser. Tajuknya ‘The 14th JAMS’, diadakan oleh Perfilma Fakultas Hukum Univesitas Indonesia (UI) di Teater Komunitas Salihara, Jakarta Selatan. Tahun ini adalah keempatbelas kalinya acara ini digelar.
Tema acara ini termasuk unik, soalnya bukan cuma konser-konseran doang, tapi ada isu sosial yang dibawa. Tahun ini isu yang diangkat tentang hak penyandang disabilitas. Senada dengan temanya, The 14th JAMS mengkampanyekan slogan “Freedom is a state of mind”.
Karena temanya kayak begitu, salah satu band pengisi acara adalah band yang beranggotakan remaja-remaja penyandang disabilitas. Namanya The Speedster, diasuh oleh yayasan Bina Abyakta. Sayangnya, penampilan The Speedster selesai persis ketika kami baru datang. Jadinya nggak bisa cerita banyak deh hehe. Langsung cek Instagramnya di @binaabyakta aja ya!
Tujuan kami datang sebenarnya demi dua band saja. The Trees and The Wild (TTATW) dan Dried Cassava. Pas banget, habis The Speedster, tak perlu waktu lama sampai TTATW naik panggung. Band post-rock asal Bekasi ini cuma main tiga lagu (Zaman, Zaman; Tuah Sebak; dan Empati Tamako) dengan total durasi hampir satu jam. Maklum, lagu mereka panjang-panjang, jadi gak bisa banyak-banyak.
Kami agak kecewa dengan absennya Mbak Tamy (Charita Utami), vokalisnya TTATW. Perannya digantikan oleh Saras Juwono, vokalis latar Dried Cassava. Untung saja TTATW memang bukan jenis band yang vocal-oriented. Vokalis utama absen tak jadi masalah, deh. Tapi si Mbak Saras kelihatan agak lemes, kurang semangat gitu. Kami yang nonton di barisan depan bisa melihat raut wajahnya yang kayak orang nggak enak badan.
Kamu yang sudah mendengar album kedua TTATW berjudul ‘Zaman, Zaman’ yang rilis tahun lalu pasti hafal dengan permainan ambient, sound-sound berat dan tekstur berlapis yang menjadi identitas mereka. Malam itu tak ada variasi yang terlalu signifikan dari segi aransemen, relatif sama seperti versi album.
O ya, kami perlu memberikan credit khusus buat siapapun yang jadi penata cahaya pada penampilan TTATW kemarin. Permainan lampunya sukses membikin kami berdecak kagum beberapa kali. Merinding deh liatnya.
Kami beruntung karena habis TTAW, langsung gilirannya Dried Cassava. Mbak Saras yang kami kirain lagi sakit nggak tahunya langsung seger begitu naik panggung lagi. Percuma deh kami mengkhwatirkanmu, mbak :p
Dried Cassava main lima lagu. Enerjik banget, sampai lompat-lompat.
Penonton pada nyanyi bareng di lagu-lagu hits mereka seperti Manusia Beruang dan Paradox. Ikutan nyanyi oke-oke aja sih. Masalahnya, pas lagu Paradox ada mbak-mbak di belakang kami yang suaranya cempreng, nyanyinya fals, tapi kenceng banget. Suaranya Mas Baskoro dan Mbak Saras sampai tenggelam. Di situ kami cukup sebel. Untung saja pada lagu-lagu selanjutnya mbak-mbak itu nggak nyanyi sengotot sebelumnya. Kami pun bersyukur.
Untuk lagu terakhir, Baskoro memberi dua pilihan lagu pada penonton. “Kalian bisa pilih, mau Hellblazer atau Fire?” tanyanya. Kompak, semua orang membalas Hellblazer. Lagu rock dengan coda-nya yang meledak-ledak itu menjadi penutup yang klimaks. Puas juga nonton penampilan Dried Cassava.
Setelah Dried Cassava sebenarnya masih ada beberapa nama lagi, seperti Diskoria dan Sore. Tapi karena kehausan, kami cabut dari teater dan minum-minum di kafe Suwe Ora Jamu yang juga berada di komplek Salihara. Tempatnya enak, serius deh. Belum pernah kan minum jamu habis nonton konser? Asik juga, lho.
Ya sudah, sampai ketemu di The 15th JAMS tahun depan!
Baca Juga
ditulis oleh Yohanes Sebastian Anugerah Sobat KlasiKITA, belakangan ini kita semua makin akrab dengan istilah brain rot. Kata ini menjadi Oxford Word of the Year tahun 2024. Brain rot, (atau
by Ananda Sukarlan Kompetisi Piano Nusantara Plus 2024 usai sudah, dan buat saya, semua peserta adalah pemenang. Paling tidak memenangkan keraguan dalam diri sendiri untuk berkompetisi, berusaha menampilkan yang terbaik.
Teman-teman KITA, sebuah sumbangan ilmu yang sangat besar dan bermakna bagi dunia musik klasik Indonesia telah tiba, dan bukan dari seorang tokoh musik klasik. Sebuah esai tentang Tembang Puitik telah
KITA mau meng-update nih tentang kehidupan baru sebuah Waltz yang baru ditemukan oleh Frédéric Chopin, yang baru-baru ini ditemukan dari brankas di Perpustakaan dan Museum Morgan (Morgan Library and Museum)
Yessss, setelah Depok petjahhh oleh Kompetisi Piano Nusantara Plus Oktober lalu, dengan jumlah peserta yang tidak tanggung-tanggung, 65 peserta (baca : https://kitaanaknegeri.com/depok-petjaahhhh/ ), bulan ini kak Ananda Sukarlan akan kembali