Curhatan Ananda Sukarlan, ketua Divisi Piano Klasik KITA Anak Negeri
Nah, di Indonesia kita sering dengar frase itu kan? Sejak saya masih sekolah waktu remaja, orangtua saya bahkan bilang, bahwa kalau saya mau jadi musikus apalagi genre klasik, nantinya tiap hari anak dan istri saya tidak lagi akan bertanya akan makan apa, tapi apa makan hari ini?
Saya sempat masuk sekolah musik di Jakarta waktu usia remaja awal, dan di sana ada pelajaran teori dan sedikit sejarah musik yang menceritakan kami bahwa para komponis besar Eropa abad 19 itu miskin, setelah para kaum ningrat tidak lagi menjadi “patron” dari para komponis setelah Wolfgang Amadeus Mozart. Tentu saja belum ada Google di tahun 1980-an itu, jadi ya kami percaya saja, guru gitu loh, masa sih ngibul? Memang nggak ngibul sih, mereka mungkin hanya meneruskan dari guru mereka sebelumnya saja. Mereka tidak tahu, dan anggapan bahwa seniman itu miskin itu memang cukup romantis dan enak-diceritakan-able .
Saya tidak tahu kenapa hoax ini harus diceritakan kepada kita …. mungkin itu juga pesanan para orangtua ya, biar anak-anaknya tidak melanjutkan kuliah musik? Setelah di Eropa, saya kan jadi lihat property-nya keluarga Mozart dan keluarganya, harga saham Walt Disney dimana Sergei Rachmaninov adalah salah satu pemegang saham pertamanya. Juga, Igor Stravinsky dan Arnold Schoenberg itu dulu tinggalnya di Los Angeles deket Hollywood loh! Mereka, bersama kolega komponis seperti Erich Wolfgang Korngold ngobrolin soal Violin Concerto yang sedang mereka tulis sambil ngappuccino (atau dinner Wagyu Beef didahului dengan caviar, minumnya Dom Perignon atau Chianti) menikmati sunset di Beverly Hills, keren ngga tuh? Dan bukan hanya para komponis, di Los Angeles itu juga tinggal para pelarian Yahudi saat itu seperti penulis Thomas Mann dan adiknya yang juga penulis tapi ehmm … agak kurang sukses Henrich Mann, Bertolt Brecht, Vicki Baum, filsuf Theodor Adorno, and sutradara film Otto Preminger dan Fritz Lang. Mereka tersebar di Pacific Palisades, Beverly Hills, Santa Monica …. yang suka nonton film Beverly Hills 90210 pasti tahu (o ya, turut berdukacita atas wafatnya Shannen Doherty karena kanker paru-paru …. uhhh suka banget ama doi dulu). Mereka melarikan diri dan jadi kaya raya!
Karena saya kemudian pindah ke Eropa pada usia 18 dan tinggal lama di sana, sekarang saya jadi terganggu kalau saya sebagai seniman di Indonesia tidak diperlakukan seperti manusia yang butuh kehidupan yang layak.
Di tempat kuliah saya, (di Royal Conservatory of The Hague, Belanda) itu kami diajarkan salah satunya adalah bahwa musikus itu tidak beda dengan manusia lain: butuh makan, butuh piknik. Bukan soal lebih kaya atau miskin, karena memang di Belanda (dan Eropa pada umumnya) rakyat memang berkecukupan, pemerintah tidak (terlalu) korupsi sehingga para pejabat rata-rata tidak lebih kaya dari rakyat. Kami diajarkan cara meniti karir, konsepnya dan filosofinya, walaupun pada akhirnya tiap orang memiliki cara yang berbeda untuk berkarir.
Nah, di Indonesia memang banyak orang tidak diperlakukan sepantasnya sih, tidak harus jadi seniman dulu. Bahkan setiap kali saya masuk Kedutaan Asing saja saya harus melewati satpam yang kasar dan membentak-bentak dulu, walaupun saya bilang bahwa Duta Besar yang mengundang saya untuk datang. Mungkin memang Michael Jackson benar, ini kulit diputihin dulu deh biar dihargai!
Memang sih kita selalu bisa selalu mendapatkan gaji dari mengajar misalnya, tapi kan mengajar itu bukan tugas utama para seniman. Seniman itu, kalau memang sudah diakui karyanya, harusnya bisa hidup dari karya seninya. Dan ini bukan hanya di dunia musik, tapi juga di bidang lain. Pelukis kan bisa menjual lukisannya, nah komponis dan sastrawan itu juga. Seringkali saya melelang karya saya, seperti di event ini (kalau ini, hasil lelang disumbangkan) :
Ananda Sukarlan Gelar Konser untuk Galang Dana bagi NTT (investor.id)
Jadi itu kasus dimana karyanya sudah jadi, kemudian dijual. Beda dengan banyak karya saya yang memang dipesan secara spesifik, seperti “The Voyage To Marege’ ” misalnya, yang harus mengisahkan tentang kedatangan para pelaut Bugis dan Makassar di Australia Utara, atau karya “Findolandesia” untuk memperingati hubungan diplomatik Finlandia dan Indonesia, “Amistad” untuk hal yang sama antara Peru dan Indonesia dan sebagainya. Nah, asiknya buat saya “menjual” karya yang bukan pesanan dari awal itu adalah bahwa saya bisa menulis apa saja sesuka saya, kemudian baru dicari siapa yang berniat memilikinya.
Anyway, kami para seniman itu tetap adalah pekerja yang menawarkan produk seni. Di luar sana adalah arts market yang besar, sebuah pasar produk seni, dan konsumen / pembeli berhak memilih. Itu sebabnya repertoire yang dimainkan para pianis atau musikus instrumen apapun sangat penting. Baik di kompetisi maupun konser, pemilihan repertoire atau what you play dan how you play itu sama pentingnya. Para pianis yang fokus memainkan karya-karya yang itu-itu saja, mulailah berpikir: apa kalian bisa menawarkan sesuatu yang baru dan beda dari memainkan Scherzo dan Ballades nya Frederic Chopin, atau semua Sonata Ludwig van Beethoven? Bukan hanya beda, soal kualitas saja, apa benar kalian bisa sama bagusnya dengan Martha Argerich, Yuja Wang atau pianis lain? Terus kalau soal kualitas saja sudah tidak bisa menandingi, bagaimana soal identitas? Kenapa orang akan tertarik mendengar / datang ke konser kalian yang mainnya itu lagi, itu lagi? Nah …. pikir deh.