oleh Ananda Sukarlan
Sejak diadakannya Kompetisi “Tembang Puitik Ananda Sukarlan” tahun 2011 di Surabaya oleh Amadeus Enterprise, saya yang selalu duduk menjadi juri kadang mendeteksi satu masalah: sang pianis pengiring vokalis. Memang kasusnya sering adalah sang vokalis mengontrak pianis untuk mengiringinya, dan biasanya si pianis menyediakan satu kali rehearsal bersama. Jadi mereka memang bukan satu tim yang saling mengenal dengan baik, dan ini harusnya tidak masalah. Tapi ada satu hal yang masih banyak pianis “pengiring” (yang biasanya masih muda dan justru merasa dirinya harusnya jadi solois, tapi kebetulan ada tawaran pekerjaan jadi “terpaksa” dia terima) yang berpikir bahwa fungsinya hanya mengiringi vokalis, yang penting ritme-nya, temponya dan garis besarnya ok saja. Dia pikir, toh yang dilihat penonton adalah vokalisnya, dan peran pianis hanya “sekunder”, tidak ada peran apa-apa di musiknya. Seringkali saya menciptakan dialog musikal (tanya – jawab, sahut-sahutan atau bentuk polifonik lain) antara pianis dan vokalis, dan dengan mentalitas seperti itu, dialog itu tidak efektif. Sang Vokalis bisa saja sangat cemerlang tapi kalau pianisnya memiliki pemikiran seperti itu, biasanya hasilnya …. ehm …. agak kurang (atau sangat tidak) memuaskan.
Kemudian ada lagi kecenderungan bahkan kebanggaan baru di antara pianis, bahwa kalau mengiringi vokalis itu partiturnya bisa langsung saja dibaca, tanpa dipersiapkan / dilatih dulu. Dia ahlinya, spesialisasinya di prima vista (atau sight reading), bahkan lebih pintar daripada pianis “solois” yang selalu mempersiapkan dan mempelajari partitur sejak lama. “Prima Vista” (prima: pertama, vista: melihat. Artinya baru melihat pertama kali) menjadi satu “simbol status” baru, seperti “wow, dia bisa langsung main pertama kali baca partiturnya”! Memang ada beberapa tembang puitik yang pianonya cukup mudah yang biasanya bertempo lambat sehingga memberi waktu untuk pianisnya untuk mempersiapkan not atau akord berikutnya, tapi bukan itu maksudnya (misalnya karya saya “I choose to love you in Silence” dari puisi indahnya Jalaludin Rumi yang memang ingin mengekspresikan “silence” jadi pianonya memang hanya akord-akord saja yang memecah keheningan : https://www.youtube.com/watch?v=dNDp_tiUEQY ) . Atau yang lebih mudah lagi: Sajak untuk Bungbung dari puisi Goenawan Mohamad, yang pianonya memang hanya satu not berulang-ulang dari depan sampai belakang menggambarkan tetesan gerimis https://www.youtube.com/watch?v=X2P00n6GUgk )
Di hampir semua Tembang Puitik sejak sang pelopornya Franz Schubert (1797-1828) , piano sebenarnya memegang peranan sangat penting untuk membentuk karakter musik itu dan menyampaikan emosi dan suasana lagunya. Piano dalam tembang puitik Schubert, di “Erlkönig” menggambarkan deru dan ngebutnya kereta kuda dikejar malaikat kematian yang memberi kegelisahan yang amat sangat kepada para pendengarnya. Di “Gretchen am Spinnrade” pianonya menggambarkan putaran mesin tenun. “Erlkönig” diadaptasi oleh Goenawan Mohamad (bukan diterjemahkan) sebagai “Gemuruhnya Malam” yang kemudian saya bikin musik. Tentu saja pianonya juga memberi emosi serupa, walaupun dengan ritme dan struktur berbeda dengan karya Schubert. Saya menggambarkan lajunya kereta api (jaman doeloe ya, bukan tipe Whoosh atau kereta listrik) di lagu saya “Nostalgia” (dari puisi Eka Budianta yang menggambarkan “kereta api yang dulu pernah ia naiki”) dan “Bapak” (puisi Julia Utami, yang tinggal di luar Jakarta dan selalu menulis puisi di dalam kereta listrik menuju / pulang dari Jakarta). Saya juga menggambarkan suasana kereta (dan sempritannya!) di “On The Night Train” dari puisi Henry Lawson di kumpulan Australian Poems, untuk soprano dan kuartet gesek yang akan diperdanakan oleh Mariska Setiawan tgl 4 Juli nanti bersama para pemain alat gesek dari Melbourne Symphony Orchestra.
Itu sebabnya saya lebih suka istilah yang populer sekarang, sang pianis bukan “accompanist” tapi “collaborative pianist”.
Seorang pianis kolaboratif berlatih dan tampil dengan penyanyi, instrumentalis, atau ansambel. Kata “pengiring” dapat memiliki implikasi yang sedikit berbeda, karena pengiring mendukung suatu grup atau pemain solo, dan tidak memiliki bobot yang sama seperti yang dimiliki seorang pianis dalam ansambel atau duo. Sedangkan seorang pianis kolaboratif harus mempersiapkan bagian musiknya sendiri sebelum berlatih dengan pemain lain / penyanyi atau ansambel.
Prima vista memang sangat penting bagi pengiring, karena terkadang ia perlu berlatih musik dengan penyanyi atau instrumentalis untuk pertama kalinya di kelas. Pianis yang bekerja dengan penyanyi sering kali perlu membaca langsung pada latihan pertama, karena diharapkan musik vokal tidak terlalu sulit untuk dimainkan. Sebaliknya, jika ia diberi partitur untuk sonata untuk biola dan piano dari Beethoven, Cesar Franck, Brahms dan diharapkan memainkannya langsung, itu sih “mission impossible”, sudah deh tidak perlu pura-pura mampu. Sonata-sonata itu membutuhkan kematangan artistik dari kedua pemain, bukan hanya memainkan not-notnya dengan benar.
Membaca langsung juga sangat umum dilakukan oleh pengiring yang bekerja dengan paduan suara atau ansambel vokal. Si pianis mungkin berlatih bersama grup sekali seminggu, dan ia mungkin diharapkan untuk membaca bersama dengan paduan suara atau memainkan bagian SATB dari musiknya.
Pianis Kolaboratif Berkontribusi Besar Pada Interpretasi Musik
Seorang guru vokal atau penyanyi mungkin memanggil seorang pianis kolaboratif untuk mendiskusikan ide musik dalam latihan. Apa yang ia harus lakukan? Untuk mempersiapkan hal ini, pelajari partiturnya dan dengarkan rekamannya sebelum latihan pertama jika memungkinkan. Lebih baik lagi, tulis catatan di partitur anda dengan pensil (atau sekarang dengan iPad ya?). Instrumentalis dan vokalis biasanya menikmati “berkolaborasi” dengan pianis, daripada sekadar meneriakkan perintah mengenai tempo dan dinamika. Jangan mencuri perhatian ketika anda berkolaborasi dengan musisi lain – anda ada untuk membantu menciptakan musik yang lengkap. Hal ini diwujudkan dalam dua cara utama: Kesadaran anda akan timing harus paripurna. Anda harus dapat diandalkan dan mengikuti irama dan ritme seperti Ringo Starr pada drum, dan anda tidak boleh mengambil kebebasan apa pun dengan rubato, ritardando, atau apa pun jika anda belum merencanakannya dengan solois atau ansambel. Bahkan jika anda sedang membaca sekilas dan perlu melakukan “ghosting” pada nada untuk menjaga timing, ritme adalah rajanya. Jangan pernah bermain lebih keras dari solois atau ansambel kecuali bagian-bagian yang memang soloistik, tapi juga tidak perlu terlalu lembut. Ingat, pianis kolaboratif sederajat, setara dengan pemain lainnya! Jangan memberi isyarat dengan cara yang konyol, menarik perhatian, bergoyang mengikuti musik, atau bermain dengan keras dan agresif. Pastikan semua yang anda lakukan membantu partner anda tampil lebih baik.
Pianis kolaboratif seringkali mengkhususkan diri dalam repertoar tertentu. Sewaktu saya kuliah, saya bekerja sebagai pianis kolaboratif untuk teman-teman di jurusan flute dan klarinet, jadi otomatis saya fasih banget memainkan sonata Francis Poulenc, Darius Milhaud, Henri Dutilleux, dan semua yang “wajib”. Itu juga sebabnya saya banyak sekali menuliskan karya duo piano dan flute atau klarinet, atau musik kamar lain yang melibatkan dua instrumen itu karena saya jadi begitu mengenal seluk-beluk duo ini: dynamic balance-nya, tinggi-rendahnya nada dll.
Saya juga hampir pasti akan diminta memainkannya untuk sejumlah pemain flute dan klarinet. Saya mampu menangani beban kerja ini tanpa latihan lagi karena saya sudah mengetahui musiknya. Hal yang sama berlaku untuk pianis kolaboratif yang berspesialisasi dalam musik vokal. Setelah beberapa tahun bekerja, anda pasti sudah mengetahui ratusan Schubert Lieder, opera arias, lagu audisi Broadway, dan banyak lagi.
Juga musik yang sudah ada bisa sebagai trigger, seperti di puisi Idrus Shahab berjudul Adagio Albinoni. Saya berusaha membaca puisi ini tanpa mengingat judulnya, dan sebetulnya puisinya menghasilkan musik yang agak berbeda. Saya bilang “agak” karena ternyata mood-nya, suasananya juga semacam Adagio. Tapi akhirnya saya memutuskan untuk menggunakan Adagio-nya Albinoni di bagian pianonya. Begitu juga dengan puisi Dedy Tri Riyadi, “Seberapa Panjang Malammu”, ia menyebutkan Nocturne op. 9 no.2 karya Chopin. Lagi-lagi saya memutuskan untuk meng-copy paste Nocturne itu sementara sang vokalis menyanyikan puisinya. Nah, untuk memainkan Nocturne ini tentu harus mempelajarinya, tidak bisa prima vista saja walaupun pasti sang pianis sudah mendengar rekamannya ratusan kali. Tapi interpretasi dan musikalitasnya atas Nocturne ini sangat penting. Kasusnya sama dengan tembang puitik saya yang lain: Oktava Tanggal Tua (puisi Eka Budianta yang menceritakan “lagu kelasik”, jadi saya mengambil birama-birama pertama Prelude Raindrops nya Frederic Chopin yang kemudian saya transformasi karena suasana sedihnya yang lumayan pas), juga penggunaan ritme dari Mission Impossible 3+3+2+2 serta motif melodik ostinato-nya yang saya balik dengan cermin di “Tiga Puisi Buset” dari puisi Budhi Setyawan. Di lagu kedua, saya menggunakan melodi utuh “Kasih Ibu” secara sarkastik karena menceritakan tentang Ibu Suri yang …. ehm ….. agak kurang terpuji kelakuannya. By the way, saya berterima kasih sekali kepada soprano Cindy Tannos yang memperdanakan tiga lagu terakhir tersebut (puisi Dedy Tri Riyadi, Eka Budianta dan Budhi Setyawan “Buset”) dengan musical understanding yang cukup istimewa. Lain kali kalau Cindy menyanyikannya dengan pianis lain, semoga dia bisa menyampaikan pemikiran artistik saya ke sang pianis ya ….
Itu sebabnya di Kompetisi Piano Nusantara Plus yang kembali diadakan tahun ini, kategori Tembang Puitik agak berbeda. Kami para juri menilai peserta sebagai satu tim: vokalis dan pianis. Pemenangnya adalah dua-duanya, bukan hanya sang vokalis saja. Ini kedengarannya unik, tapi sangat masuk akal kalau anda membaca ulasan dan alasan saya di atas, dan saya tidak mengerti kenapa belum pernah ada kriteria kompetisi seperti ini.