sebuah obituari oleh Ananda Sukarlan.
Jujur saja, saya tidak begitu mengenal sosok Tatan Daniel. Tapi saya ingin menulis obituari ini karena saya pengagum karya-karya dan juga kepribadiannya sebagai seorang seniman tulen yang penuh integritas, antara lain dengan gerakannya “Save TIM” (Menyelamatkan Taman Ismail Marzuki). Kemarin, tanggal 19 Oktober 2024 beliau wafat di usia 63 tahun, setelah operasi jantung yang gagal (saya dengar, untuk pemasangan ring di jantung).
Baru tahun 2022 lalu saya memberanikan diri meminta izin beliau untuk menggubah salah satu puisinya, “Ini Senja Mengapa Nyeri?” menjadi tembang puitik. Beliau mengizinkan dengan ramah, dan akhirnya karya tersebut saya perdanakan di dua tempat: Auditorium IAKN (Institut Agama Kristen Negeri) di Ambon dan kemudian di Gedung Stovia di Jakarta yang bersejarah bulan Juni 2023. Keduanya dinyanyikan oleh Inggrid Patricia, soprano muda yang setahun sebelumnya memenangkan Juara ke-2 Ananda Sukarlan Award kategori Tembang Puitik.
Ini adalah salah satu puisi di dalam kumpulan puisi Tatan Daniel, “Pada Suatu Hari yang Panjang” yang saya beli … lupa di mana dan kapan. Bang Tatan menghadiri konser kami di Gedung Stovia beserta istri dan anak-anaknya, dan di situlah saya bertemu beliau untuk terakhir kalinya, tepatnya kedua kalinya. Pertama kali saya bertemu –dan berkenalan secara fisik (sebelumnya kami sudah berteman di facebook) dengan — beliau adalah di pesta ulang tahun kawan bersama, dosen Universitas Indonesia, pakar transformasi digital dan juga pecinta sastra, Riri Satria.
Saya kutip dulu deh puisinya sebelum saya ulas ya :
Nah, puisi itu penuh dengan bunyi. Azan di hutan. Derik jangkrik. Rebana katak. Bahkan suasana dinginnya pun sangat jelas. Saya tidak perlu banyak berpikir, musik sudah bunyi sendiri dari puisi yang sangat kuat itu. Tapi, bukannya saya suka ambiguitas? Kenapa puisi yang sangat gamblang ini sangat menarik saya?
Justru ambiguitas puisi ini sangat kuat. Siapa yang nyeri? Senja atau penulisnya? Mengapa senja? Sebab di awal puisi ini telah menunjukan sebuah subjek yaitu Magrib yang berada di hutan. Tapi mengapa juga bisa penyairnya? Karena puisi bisa saja sebuah pengalaman penyairnya. Ini bisa menjadi gambaran bagaimana Tatan Daniel telah berproses panjang menekuni dunia puisi.
Meskipun pada puisi itu semua kelihatannya gamblang, namun maknanya sebetulnya luas dan penuh metafora; puisi itu seolah hanya menggambarkan suasana senja di tengah hutan, nyata. Tapi, bukankah di tengah hutan dalam kehidupan yang nyata belum tentu ada masjid dan pengeras suara, apalagi suara azan? Jadi dari mana suara itu?
Terus terang, saya sering terganggu dengan suara azan, apalagi seringkali dilafalkan dengan orang-orang yang tidak mengerti estetika. Tapi entah kenapa, saya membayangkan azan tersebut sangat indah di hutan itu. Dan tentu kurva melodi azan ikut masuk dalam musik saya, baik di piano maupun vokal (menariknya, Inggrid Patricia sebagai non Islam harus mempelajari melodi azan tersebut untuk premiere itu, dan saya yang harus mengajarinya …. ya siapa lagi lah hahaha) bahkan sejak not pertama yang bisa didengar di sini:
Ini Senja Mengapa Nyeri? Music by Ananda Sukarlan based on the poem by Tatan Daniel
Saya sih berharap ada peserta Kompetisi Piano Nusantara Plus, baik yang untuk semi final di Jakarta 7 Desember nanti, ataupun untuk Babak Final keesokan harinya, tanggal 8 Agustus di Institut Francais d’Indonesie, memilih lagu itu. Jadi ada semacam “tribute” untuk sang penyair yang kuidolakan ini, dan saya harapkan bisa lebih dikenal, pertama di dunia musik klasik lewat tembang puitik saya. Partiturnya ada di buku kumpulan Tembang Puitik Ananda Sukarlan, volume 8.
Karena ini tulisan obituari, dan Tatan Daniel bukanlah figur yang sangat dikenal di luar dunia sastra, saya harus memperkenalkan sedikit riwayat hidupnya. Saya kutip dari berbagai sumber :
Tatan Daniel lahir di Pematang Siantar, 17 Februari 1961. Usai menamatkan sekolah menengah di Perguruan Taman Siswa Kisaran tahun 1980, ia melanjutkan pendidikan ke Akademi Pemerintahan Dalam Negeri (APDN) Medan, dan STIA Lembaga Administrasi Negara di Jakarta.
Sajak pertamanya dimuat di kolom puisi ”Abrakadabra” harian Waspada, tatkala masih bercelana pendek, kelas 2 SMP (1975). Dan di masa itu juga, sketsanya mengisi ”Rubrik Coret Kreatif” pada suratkabar yang sama, dan halaman budaya suratkabar Medan lainnya. Sajak-sajak penyair yang aktivitasnya tercatat dalam buku Leksikon Susastra Indonesia (Balai Pustaka, 2000) susunan Korrie Layun Rampan ini, mulai tersebar di berbagai ruang sastra dan budaya harian Medan, antara lain Waspada, Analisa, Mimbar Umum, Sinar Pembangunan, Mercu Suar, Bukit Barisan, dan SKM Dobrak, serta majalah Zamandan majalah Hai, Jakarta, sejak tahun 1978. Bersama penyair muda Asahan, menerbitkan kumpulan sajak Simpang Jalan(1982).
Pernah memenangkan lomba mengarang tingkat SD se-Asahan (1972), lomba melukis tingkat SLA dalam Porseni se-Sumut (1978), dan lomba menulis puisi se-Sumatera Utara (Teater Siklus, Medan, 1979).
Membacakan puisinya pada Temu Sastrawan Sumatera Utara (1977) di Medan, dan menjadi peserta termuda pada Temu Sastrawan Asahan (1979) di Kisaran. Sajaknya dimuat dalam antologi sastrawan Asahan Tangkahan (1979). Pada kurun itu, ia juga menjadi redaktur rubrik sastra pada dua stasiun radio di kotanya. Sebelum hijrah ke Jakarta,bertugas sebagai Kepala Anjungan Sumatera Utara di Taman Mini Indonesia Indah (2010-2019), ia aktif berkesenian di “Sanggar Laras” Kisaran (Sumatera Utara), dan sempat mendaulat W.S. Rendra dan L.K. Ara untuk membacakan sajak di depan publik kota itu, pada tahun 1989.
Salah satu esainya memenangkan lomba yang diselenggarakan oleh ”terre des hommes, Netherlands”, dan dimuat dalam buku “Kekerasan Terhadap Anak” (1999). Salah satu artikel opininya termaktub dalam buku “Masyarakat Versus Negara” (Penerbit Kompas, 1999). Esai panjangnya dimuat dalam buku “Rasa” (Pen. Badan Penghubung Daerah Prov. Sumatera Utara, 2018). Tulisannya tentang Radhar Panca Dahana dimuat dalam buku “Percikan Api Radhar dalam Kenangan Sahabat” (Penerbit Buku Kompas, 2022).
Beberapa puisinya dimuat dalam bunga rampai dan antologi bersama, antara lain: Ini Medan, Bung (Pen. Seniman Medan, 2010), 18 Penyair November (D3M, 2013), Menyemai Ingat, Menuai Hormat (Kail, 2015), Barus(Anjungan Sumut, 2015), Pasie Karam (Dewan Kesenian Aceh Barat, 2016), Mahligai Penyair Titi Payung (Pustaka Diksi, Medan, 2020), Para Penuai Makna (Penerbit Teras Budaya, 2021), Mata Air Air Mata (Penerbit Kosa Kata Kita, 2021), Jejak Waktu (Penerbit Kosa Kata Kita, 2022), Raja Kelana (Antologi Puisi 12 Dari Negeri Poci, Pen. Kosa Kata Kita, 2022), Sejuta Puisi untuk Jakarta (Pen. DispusipJakarta, 2022), Kabut, Hujan dan Segala Yang Dikenang (Pen. Dispusip Kota Padang Panjang, 2022).
Buku kumpulan puisinya bertajuk “Pada Suatu Hari yang Panjang” yang diterbitkan oleh Lembaga Kajian Kebudayaan Indonesia (2021), memperoleh Penghargaan sebagai Buku Puisi Pilihan Tahun 2021 oleh Yayasan Hari Puisi Indonesia.
Bersama etnomusikolog Rizaldi Siagian dan sejumlah seniman tari, musik, sastra, diaspora Melayu di Jakarta, menggerakkan revitalisasi seni tradisi Ronggeng Melayu, dengan membentuk Komunitas Ronggeng Deli, sejak tahun 2015. Aktif di Forum Seniman Peduli TIM, sejak November 2019. Saat beliau wafat, beliau menjabat sebagai Sekjen Masyarakat Penggiat Seni Indonesia (2022-).