oleh Ketua Divisi Piano Klasik KITA, Ananda Sukarlan
Sedih sekali mendengar kepergian teman, pianis dan pengajar musik Dr. Johannes Sebastian Nugroho tanggal 9 Januari lalu, tapi juga ada perasaan sedikit lega karena Jo (panggilan akrabnya) memang sudah berjuang melawan kanker pankreasnya selama setahun ini. Saya selalu mengikuti postingannya di facebook, jatuh bangunnya, penderitaannya tapi juga kepercayaannya yang tangguh terhadap Yesus Kristus selama ini. Saya selalu berdoa, apapun yang akan terjadi (walaupun tentu kita semua berharap kesembuhan) semoga disegerakan karena kelihatan sekali cobaan ini cukup berat buat Jo dan tentu keluarganya (istrinya Candy dan tiga anaknya, Joshua, Charis Christy dan Jeremiah.
Pencapaian dan jasa Johannes sudah banyak di dunia pendidikan musik (jauh melebihi prestasinya yang sudah luar biasa sebagai salah satu pemusik Indonesia peraih gelar Doktor dalam bidang musik dari Indiana University yang waktu itu masih sangat langka, dan tentu saja ini sangat autentik hasil kerja keras dan penulisan thesis doktoral, bukan gelar Doktor abal-abal model sekarang yang bisa dibeli online!), jadi tulisan ini bukan berniat sebagai “biografi”-nya, tapi lebih merupakan pengalaman dan kesan pribadi saya terhadapnya. Jika anda membaca ini dan ingin menambahkan kesan dan pengalaman anda dengan Jo, silakan saja tulis di kolom komen ya. Yuk kita jadikan ini sebagai kenangan tentang Jo, dan semoga ia akan membacanya dengan tersenyum di tempat peristirahatan abadinya yang indah.
Pertemuan saya pertama kali dengan Johannes adalah di tahun 2011, saat ia menjabat sebagai Ketua Jurusan Piano di Fakultas Musik Universitas Pelita Harapan. Ia mengundang saya sebagai “composer in residence”, dimana para mahasiswa UPH mempelajari karya-karya saya langsung dengan saya. Saya ingat saya menginap di Karawaci sekitar tiga hari, bekerja dengan para mahasiswa secara individual dan juga memberi ceramah tentang proses kreatif saya dan lain-lain hal. Seminggu kemudian saya balik ke UPH untuk merevisi hasil latihan mereka, sebelum kemudian mereka konserkan hasil workshop dan masterclasses itu beberapa minggu kemudian. Sebuah program yang baru pertama kalinya diadakan di Indonesia, walaupun hal itu adalah sebuah hal yang sudah biasa di Eropa dan Amerika. Selama saya kuliah di Koninklijk Conservatorium di Den Haag (Belanda), setiap dua tahun ada program tersebut, dan saya jadi pernah belajar langsung dengan Olivier Messiaen, Gyorgy Ligeti, John Cage dan Mauricio Kagel. Yang paling penting dalam program seperti ini bukan hanya mempelajari karya sang komponis, tapi juga latarbelakang penciptaan, filosofi, dan point of view sang komponis terhadap musik dan kehidupan nyata. Di karir saya di kemudian hari, Turangalila Symphonie-nya Messiaen dan Etudes-nya Ligeti menjadi repertoire saya sehari-hari yang telah saya pagelarkan di berbagai negara di Eropa, dan ini adalah hasil dari program saya selama kuliah di Royal Conservatory ini. Hal itulah yang hampir tidak pernah dipelajari oleh siswa musik di Indonesia yang biasanya hanya sibuk mengurusi soal teknik permainan saja. Kalaupun sudah lulus, mereka tidak bisa memiliki kekuatan identitas yang membedakannya dengan ribuan pianis lain dengan teknik yang sangat mumpuni. Setahu saya, setelah program dengan saya itu, Johannes menjadi “dosen biasa” setelah habis masa jabatannya sebagai ketua jurusan, dan program composer in residence itu tidak pernah dilaksanakan lagi, baik di UPH maupun di universitas lain. Padahal sangat penting bagi seorang musikus untuk belajar dari komponis yang menulis karya yang ia ingin mainkan. Selain itu, itu penting untuk musikus Indonesia mengenal karya dari negerinya sendiri, karena ini bisa menjadi aset yang besar baginya jika ia tampil di luar negeri dan mempersembahkan sesuatu yang berbeda, bukan main yang “itu-itu lagi” yaitu Sonata Beethoven, Mozart, Scherzo dan Ballade dari Chopin dll.
Apa yang telah dilakukan oleh Johannes itu bukan hanya mengajar, tapi juga memotivasi para musikus Tanah Air untuk terus meningkatkan kualitas dan berkontribusi bagi masyarakat melalui musik. Ini penting banget..Percuma kalau seorang musikus bisa main dengan teknik dan musikalitas yang tinggi tapi tidak dapat menemukan tempatnya di masyarakat dan berkarir di bidang musik. Sudah berapa ribu musikus klasik handal di Indonesia yang berprofesi bukan dalam bidangnya, dengan alasan ‘musik klasik tidak diterima masyarakat’ dsb. Kalau pasar itu tidak ada, ya kita yang harus menciptakan pasarnya, Saya mengharapkan para pianis lulusan UPH bisa memainkan terutama berbagai Rapsodia Nusantara, yaitu karya-karya yang berdasarkan lagu-lagu tradisional Nusantara dan telah dimainkan oleh para pianis dari berbagai negara. Jangan cuma dimainkan oleh pianis asing dong, walaupun itu penting untuk memperkenalkan budaya kita ke dunia internasional, tapi pianis kita akan mendapatkan identitas artistik yang kuat jika memainkan karya bangsanya sendiri.
Tahun berikutnya, 2012, Johannes saya undang untuk menjadi juri di Ananda Sukarlan Award, dan saat itu ia kekeuh untuk tidak ikut menilai saat para pianis peserta yang (pernah) menjadi muridnya tampil. Hasilnya? Saat babak final, separuh waktunya ia “makan gaji buta” karena banyaknya muridnya yang masuk final. Catat: itu tanpa keterlibatannya menilai sebagai juri. Itu menunjukkan prestasi hasil didikannya.
Banyak sekali para pemenang ASA yang sukses menjadi pianis dan pengajar adalah hasil didikannya. Saya sebut saja beberapa : Edith Widayani (pemenang ASA 2010), Anthony Hartono (ASA 2014), Joshua Victor (ASA 2018), serta banyak dari kategori junior juga seperti Ayunia Indri Saputro dan Valerie Wellington.
Kakak pengajar di KITA Anak Negeri, kak Hilda Natalia Dauhan, bercerita tentang pengalaman kakaknya, Shelda Laura Dauhan:
Saya tidak kenal secara langsung dengan beliau, namun dulu beliau adalah dekan dan dosen kakak saya, Shelda, di kuliah musik (kalau tidak salah 19thn yg lalu). Panggilan akrabnya adalah pak Jo. Kakak bilang beliau adalah dosen terfavorit di kala itu, cara mengajarnya berbeda dengan yg lain. Waktu itu kakak tidak punya piano, jadi pulang kuliah langsung latihan di kampus sampai jam 9 malam dengan membawa buku2 tebal dan kipas angin dalam tas ransel. Setiap kakak latihan, dia suka ketemu dengan pak Jo yg ternyata latihan juga sampai malam, kalau papasan suka kaget bareng karena di kala itu kampus gelap dan serem😂. Kakak heran padahal pak Jo itu org pertama di kampus dengan gelar S3, tp beliau sangat teramat humble dan terus belajar dan latihan di kampus. Kakak pernah bertanya pada pak Jo, kenapa pak Jo tidak bekerja dan meneruskan karirnya diluar negeri, pak Jo menjawab beliau ingin bisa memajukan musik klasik di negara ini.
Selamat jalan, Johannes Sebastian Nugroho. Jasamu sangat besar untuk dunia musik klasik serta pendidikan dan pemajuannya di Indonesia. Sekarang, beristirahatlah dengan tenang.