Industri musik Indonesia besar dari sebuah proses yang panjang. Menahun bukan lagi kata yang cukup untuk mendeskripsikan lama prosesnya. Musik sudah menjadi pendamping hidup orang kita, bahkan sebelum konsepsi ke-Indonesia-an terpikir sebagai sebuah wacana kenegaraan.
Pada masa pra-kolonial, musik adalah salah satu medium paling penting dalam kegiatan-kegiatan ritual masyarakat tradisional. Memasuki era kolonialisme, di mana terjadi penetrasi budaya oleh bangsa Barat, paradigma musik masyarakat semakin meluas. Terlepas dari penindasan yang terjadi akibat pendudukan kolonial terhadap bangsa pribumi Nusantara, masuknya bangsa Barat membawa pengaruh besar dalam perkembangan musik saat itu. Orang-orang mulai mengenal gitar, biola, piano, dan alat musik lainnya.
Musik pada masa kolonial juga menjadi salah satu bentuk perjuangan serta pergerakan nasional. Bagitu banyak lagu-lagu bertema perjuangan dan anti penindasan yang lahir pada masa ini. Sebut saja lagu kebangsaan kita, Indonesia Raya, yang diciptakan oleh Wage Rudolf Soepratman. Tergubahnya Indonesia Raya adalah berkat watak revolusioner yang dimiliki oleh W.R. Soepratman, berkat kepeduliannya terhadap kebebasan berbangsa dan antipatinya pada penindasan.
Indonesia Raya menjadi sebuah karya yang memukau. Menggugah rasa perjuangan pendengarnya, tidak ada satu kongres partai politik pun pada masa itu yang tidak memainkan Indonesia Raya. Indonesia Raya adalah bukti bahwa musik adalah alat pemersatu. Bahkan menjadi sebuah identitas yang melekat.
Memasuki era modern. Modernisasi pada bidang musik terjadi secara besar-besaran. Musik-musik perjuangan tergeser ke ranah sidestream yang semakin hari semakin kekurangan peminat. Lagu romantisme ala remaja dan karya-karya sejenisnya lah yang mendominasi industri musik Indonesia kini.
Musik saat ini kehilangan kekuatan impact-nya di masyarakat. Alih-alih menjadi alat pergerakan dan pemersatu, musik sekadar menjadi sebuah komoditas. Asal enak didengar dan bisa dijual, selesai urusan. Boro-boro ingin menggugah pendengar, yang penting laris dulu di pasar.
Selain perdebatan mengenai peran pasar dan perusahaan musik yang terus dianggap sebagai biang kerok pendangkalan industri musik Indonesia kini, kita juga bisa mempertanyakan kontribusi musisinya.
Kontribusi musisi modern ini cenderung minim. Rilis lagu atau album, dapat royalti, lalu sudah. Kebanyakan hanya begitu paradigmanya. Dari keuntungan yang didapat hasil penjualan lagu, banyak juga musisi yang mengalokasikannya ke dalam bentuk bantuan-bantuan sosial, misalnya pendirian yayasan peduli anak dan lain sebagainya. Adalah tepat jika hal ini disebut kontribusi mereka ke masyarakat. Hanya saja, musisi secara esensial memiliki kekuatan yang lebih lagi untuk berkontribusi pada masyarakat dan negara.
Seperti apa caranya? Ada banyak sekali. Mulai dari mencipta lagu yang bermakna positif, memiliki pesan-pesan persatuan, juga mengajak pendengar untuk mengkonsumsi lagunya secara cerdas. Bukan hanya berkarya karena ingin dapat untung.
Cara lainnya, bisa juga dengan memberikan bakti kepada masyarakat. Tentunya, bentuk bakti ini sesuai dengan statusnya sebagai musisi, yaitu dengan mengajar musik.
Anak-anak Indonesia memiliki minat belajar musik yang tinggi, hanya saja, belajar di sekolah musik masih menjadi sebuah pembelajaran yang mahal dan cenderung bersifat eksklusif. Padahal, sekolah musik adalah sarana yang paling tepat bagi seseorang mempelajari musik. Dengan adanya kurikulum dan pengajar yang berkompeten, baik secara teori maupun teknis, dapat dihasilkan musisi-musisi masa depan yang berkarakter.
Sekolah Musik Komunitas Ilmu Tata Nada (KITA) Anak Negeri adalah salah satu bentuk bakti musisi bagi negerinya. Bagi anak-anak bangsanya. Sebuah kontribusi yang bisa dan hanya bisa diberikan oleh musisi. Di mana musisi yang memiliki ilmu dan kepedulian, dapat mengartikulasikan niat baiknya dengan saluran yang jelas dan terstruktur. Sambil di saat yang sama, non-profit dan berusaha tidak komersil. Hal seperti inilah yang harus mulai diberi penekanan oleh musisi Indonesia.
Karena itu, tak ada salahnya jika kita pertanyakan lagi; sebagai seorang musisi, kontribusi apa yang sudah kamu berikan kepada bangsa dan negaramu, atau setidaknya anggota masyarakat terkecil yang ada di sekitarmu?
Sumber foto : Google Images
Baca Juga
Tegang? Nggak sabar? Gelisah tapi excited? Dari KITA Anak Negeri juga mewakili dewan juri kita kak Ananda Sukarlan dan kak Gwynn Elizabeth Sutanto, kami hanya bisa bilang, “Semangat, teman-teman peserta
Roket Kompetisi Piano Nusantara Plus 2024 telah lepas landas, 25 Agustus kemarin di Bogor, tepatnya di Harmoni Musik, Yamaha. Minggu depan 31 Agustus akan diadakan di Bandung, dan bulan September
Ada sesuatu yang istimewa di dunia musik klasik Indonesia saat perayaan 17 Agustus tahun ini. Wow, kita bangga sekali dengan Yonggi Fayden Cordias Purba, siswa piano KITA Anak Negeri. Kali
oleh Ananda Sukarlan, ketua Divisi Piano Klasik KITA Anak Negeri Satu opera saya yang diproduksi secara bertahap adalah Saidjah & Adinda. Semua orang Indonesia tahu dong tentang kisah cinta ini,
Curhatan Ananda Sukarlan, ketua Divisi Piano Klasik KITA Anak Negeri Nah, di Indonesia kita sering dengar frase itu kan? Sejak saya masih sekolah waktu remaja, orangtua saya bahkan bilang, bahwa