oleh Ananda Sukarlan, Ketua Divisi Piano Klasik
Saya kan selalu bilang, apa yang saya lihat, apa yang saya baca, itu biasanya menghasilkan bunyi di kepala saya, atau musik yang mentah. Bahkan musik yang saya dengarkan pun saya ingin “masak”, “goreng” atau “godok” lagi. Benda yang saya lihat itu memproduksi misalnya satu progresi harmoni, seri akord-akord, tekstur susunan nada atau kurva melodik, yang belum dimodifikasi sebagai “musik” yang layak didengar. Sesekali apa yang saya baca, misalnya puisi, itu menghasilkan bunyi yang memiliki kemiripan dengan musik yang sudah ada, dan saya berusaha “mematahkan” atau menolak musik tersebut, kan saya harus memproduksi musik saya sendiri, walaupun ada kemiripan dari musik yang sudah ada. Tapi kemudian saya berpikir, kenapa mesti saya tolak, tidak sekalian saya masukkan musik tersebut untuk kemudian diintegrasi dengan musik yang saya ciptakan sendiri?
Beberapa tahun yang lalu Oktava Tanggal Tua dari puisi Eka Budianta menggunakan Raindrop Prelude-nya Frederic Chopin (walaupun di karya itu tidak ada oktava-oktava yang signifikan, dan Eka Budianta sendiri tidak menyebutkan lagu apa yang terdengar, hanya “lagu kelasik”), kemudian tahun ini puisi Dedy Tri Riyadi yang memang dia sendiri tulis setelah mendengarkan Nocturne op. 9 no. 2 – nya Chopin. Saya juga menggubah Adagio Albinoni, dimana sang penyair Idrus Shahab sendiri mengakui bahwa puisi ini tercipta setelah ia mendengarkan Adagio yang terkenal dari sang komponis Italia Tomaso Albinoni (1671-1751) ini.
Kalau mau baca proses kreatif saya yang lebih ribet, ini ada yang pernah wawancarai saya:
https://bekasiana.com/listing/ananda-sukarlan-tokoh-tembang-puitik-indonesia
Banyak penyair yang otaknya berfungsi sebaliknya dari saya: kalau saya mendengar musik dari puisi mereka, kalau mereka justru bisa “menggambarkan” musik yang mereka dengar lewat metafora puisi. Ini juga terjadi misalnya di Budhi Setyawan, dari musik-musik genre lain seperti rock.
Balik ke saya, musik yang saya dengar juga bisa saya “permak” lagi menjadi musik yang lain, misalnya dalam bentuk variasi atau fantasi.
Dua di antaranya akan saya pagelarkan di konser bertajuk “Sajak Dari Ruang Juang” merayakan 17 Agustus, tepat tanggal itu di Galeri Indonesia Kaya, di mall Grand Indonesia. Yang pertama adalah “Satu Tangan, Sepenuh Jiwa, Untuk Indonesia”, untuk piano solo hanya dengan tangan kiri saja. Karya ini menggunakan melodi lagu pop “Untuk Indonesia” yang rilis awal tahun ini dinyanyikan oleh Once Mekel dan Yenny Wahid. Seorang penyair, Shantined, menyaksikan pertunjukan perdana karya tersebut dan terinspirasi membuat puisi, “Sepenuh Ini, Indonesia”. Ini kisah lengkapnya saat Shantined menyaksikan World Premiere (pertunjukan perdana) karya ini:
Dari puisi itu, saya kembali membuat musik untuk vokalis klasik dan iringan piano, lagi-lagi tangan kiri saja, sehingga rantai itu menjadi semakin panjang: sebuah lagu pop menginspirasi karya piano untuk tangan kiri saja, karya piano solo itu menginspirasi penciptaan puisi, puisi itu menginspirasi karya baru untuk vokal dan piano. Soprano yang akan memperdanakannya adalah Mariska Setiawan. Sebetulnya karya-karya lain juga ada “menggandeng” lagu lain yang sudah ada, seperti ritme 10/8 nya Mission Impossible di “Tiga Puisi Buset” (Buset itu Budhi Setyawan) yang juga bakal dinyanyikan. Mau nonton? Yuk catet dulu deh, Galeri Indonesia Kaya, tepat tanggal 17 Agustus, hubungi saya saja lewat Instagram inbox @anandasukarlan soal jam, registrasi (gratis kok) dll. Nanti juga saya post soal eventnya. Pokoknya kalau mau ikut lomba makan krupuk, panjat pinang dll udah harus pagi jadinya, jadi sempat mandi dan datang dengan wangi ke konser kami yah!