oleh Ananda Sukarlan, Ketua Divisi Piano Klasik KITA Anak Negeri
Tadi pagi saya menemukan di YouTube, David Bowie (audio saja) menyanyikan lagu “My Way” yang buat saya overrated dan terlalu terkenal itu, dan setelah sekitar 10 detik penuh kebimbangan, sebagai pengagum berat Bowie saya langsung menyimpulkan bahwa itu bukan suara aslinya. Itu pasti menggunakan AI (Artificial Intelligence). Apalagi saya tahu sejarahnya sang Starman dengan lagu itu. Oh anda belum tahu? Jadi begini.
David Bowie itu sebetulnya orang pertama yang menulis lirik bahasa Inggris untuk lagu asli My Way yang aslinya berjudul “Comme d’habitude” yang artinya “As Usual” atau “seperti biasa” gitu deh. Lagu itu ditulis oleh Claude Francois, nama besar saat itu di negara asalnya Perancis. Pada era itu ada kebiasaan para produser menugaskan seseorang untuk menerapkan lirik bahasa Inggris pada lagu yang sedang nge-hits. “You Don’t Have to Say You Love Me” oleh Dusty Springfield adalah salah satu contohnya, aslinya adalah lagu hit Italia. Produser Eropa akan menghasilkan uang dari versi ulang tersebut, penerbit Inggris dan Amerika akan menghasilkan uang, jadi semua orang dapat rezeki, semua happy, gitu kan.
Pada tahun 1968, David Jones (alias David Bowie) adalah seorang penulis lagu yang memulai karir di penerbit musik di Denmark Street, London. Ia ditugaskan untuk menulis versi bahasa Inggrisnya, yang akhirnya menjadi “Even A Fool Learns to Love”. Bowie adalah pengagum berat Anthony Newley. Saat ini, Newley adalah nama yang sedikit terlupakan tetapi dia menjadi besar ketika Bowie tumbuh dewasa. Terus-menerus tampil di televisi, dia adalah seorang pria zaman Renaisans – berakting dalam film-film dari masa remajanya (dia adalah Artful Dodger dalam Oliver Twist karya David Lean), seorang komika natural, cerdas, memiliki tangga lagu hits dan menikah dengan Joan Collins. Di akhir usia dua puluhan, dia beralih dari pop remaja ke proposisi yang lebih besar, dia menulis dan membintangi bentuk musik baru, Stephen Sondheim-nya Inggris lah. Lirik “Even a Fool Learns to Love” versi Inggrisnya Comme d’habitude itu mencerminkan gaya atau mendeskripsikan secara metaforik tentang Newley dan sepertinya Bowie ingin Newley menyanyikannya.
Sebagai seorang musikus yang baru mulai dan belum terkenal, lirik yang cukup “high class” dari Bowie itu tentu tidak menarik untuk banyak orang. Akhirnya sang produser meminta Paul Anka yang menulis “My Way” yang kita kenal sekarang dan jauh lebih nge-hits (apalagi karena dinyanyikan Frank Sinatra), karena liriknya yang lebih sederhana, lebih sentimental (baca: cengeng) dan mudah dimengerti tanpa metafora yang terlalu liar.
Saya sendiri tidak tahu pasti dan kini sudah terlambat menanyakannya, tapi saya 90% yakin David Bowie tidak menyukai lirik versi Paul Anka. Itu sebabnya dia tidak pernah menyanyikannya, dan video YouTube itu baru keluar jauh setelah Bowie wafat.
Comme d’habitude versi David Bowie tidak pernah dirilis walaupun ada rekaman (yang harusnya kini menjadi sangat bersejarah) Bowie menyanyikannya. Nah, gossipnya “Life on Mars” itu parodi dari “My Way” yang di-cancel sebagai bahan olokan Bowie yang pasti bete banget.
Nah, saya jadi ngelantur sih, tapi “though this be madness, yet there is method in’t “, mengutip Polonius kepada Hamlet. Saya ingin menunjukkan bahwa sampai saat ini Artificial Intelligence di dunia musik dan seni pada umumnya itu belum bisa menipu saya. Sekarang banyak yang ribut soal AI bisa menggantikan penulis lagu, kalau saya sih tetap tenang, karena saya di genre classical yang lebih “art” kami2 sih ga masalah. Sampai kapanpun AI ga bisa menggantikan kita karena saya kan dibutuhkan bukan hanya musiknya, tapi identitas musiknya serta kedalaman ekspresinya juga. Artinya struktur, progresi harmoni yang berhubungan dgn kurva melodik musiknya Ananda Sukarlan itu hanya saya yg bisa bikin. Orang lain pun tidak bisa, apalagi Artificial Intelligence, walaupun ngakunya lebih intelligent daripada saya sendiri. Bisa sih tapi justru menghilangkan element of surprise dan juga unpredictability-nya
Teknik komposisi dalam seni musik itu harusnya bukan mengikuti aturan tapi mendobrak aturan. Apa yang saya lakukan itu semua telah saya pelajari sejak kuliah, sampai sekarang. Begitu ada “pakem”, “aturan”, yang saya pikir adalah: kenapa harus begitu? Tapi situasinya adalah bahwa musik itu semakin standard. Progresi harmonik makin itu-itu saja. Makanya musik mengalami kemunduran bukan maju, dan ini mempengaruhi cara berpikir manusia. Itu sudah dinyatakan Plato jauh sebelum Masehi, di bukunya The Republic:
“Musical innovation is full of danger to the State, for when modes of music change, the fundamental laws of the State always change with them.” Di zaman Plato, ada 7 tangganada dalam musik, yaitu Ionian, Dorian, Phrygian, Lydian, Mixolydian, Aeolian dan Lochrian. Sejak 2-3 abad lalu, musik direduksi menjadi dua tangganada saja, yaitu mayor dan minor. Claude Debussy, Benjamin Britten dan lainnya di awal abad ke-20 ini membangkitkan kembali 7 modus tangganada ini, tapi setelah mereka tiada, tidak ada lagi yang berminat dan bisa dengan canggih melakukannya seperti mereka. Kini, progresi harmoni di musik pop sejak tahun 2000-an terbatas dalam sekitar empat akord saja di tiap lagu. Dan semua pemerintah dari semua negara mengamini, bahkan merayakan hal tersebut!
Plato tidak melihat musik sebagai konsekuensialisme, melainkan sebagai ekspresi jiwa dan aspek penting dalam pendidikan. Di The Republic, ia membahas peran musik dalam pendidikan dan kemampuannya dalam membentuk karakter individu dan masyarakat.
Seorang teman, dosen Universitas Indonesia, pakar digital transformation dan juga penyair Riri Satria (yang memang sering membahas soal AI dalam sastra maupun bidang lainnya) suatu saat pernah posting di Facebook-nya sebuah puisi, yang ia bilang adalah hasil AI. Posting ini disertai tebakan : ini modelnya penyair siapa, hayo? (Eh pakai “hayo” nggak, ya, lupa sih). Saya yang paling pertama menjawab: Ini KW-nya Robert Frost, dan memang benar. Mengapa? Karena puisi itu mengambil struktur puisinya Stopping by Woods on a Snowy Evening, termasuk repetisinya yang luar biasa menghujam di dua baris terakhirnya. Tapi di puisi KW-nya Frost buatan AI yang ini jadinya jelek sekali, walaupun tujuannya membuat puisi yang indah.
Saya yakin ketika Frost mengulang kalimat “and miles to go before I sleep”, itu tidak ada aturannya, itu secara instink saja dia menuliskannya, dan tahu-tahu ia tahu bahwa kalimat itu harus diulang. Sudah klepek-klepek kita membaca pertama kalinya, lebih klepek-klepek lagi kita membaca pengulangannya. Nah, sesuatu yang diulang itu karena memang itu indah dan kita ingin mendengarnya lagi. Bukan asal ulang, itu mah sama saja seperti kita balik ke mantan! Puisi itu sangat tidak Frostian dalam ekspresi, sama seperti “My Way” versi AI di YouTube itu sangat tidak Bowie.
AI juga tidak akan bisa menjiplak metode pengalihwahanaan saya dari puisi / karya sastra lain ke musik. Sebetulnya dari puisi itu saya tangkap dulu semantiknya, jadi bukan dari kata2 di puisi itu secara harafiah. Dari situ menentukan suasana musik tsb. Jadi sebetulnya “iringan”nya dulu. Nantinya kata2 dari puisi itu baru “ditempel”. Baca deh ulasan penulis ini hasil obrolan dengan saya :
Banyak orang berpikir iringan piano (atau instrumen lain) di tembang puitik itu sekedar iringan saja, biar ga terlalu sepi. Padahal itu yg paling krusial kalau dalam tembang puitik di classical music. Contohnya: Ini dari puisinya Chairil Anwar. Beda banget kan dengan puisi “asli”nya yg dia jiplak, dari Archibald MacLeish : “The Young Dead Soldiers do not speak”.
Ternyata saya baru sadar setelah membuat keduanya, bhw puisi Archibald itu dari cerita orang ketiga https://youtu.be/XOZdNP7rLj8?si=leCYkXQg6DXNYlqX .
Atau simple nya, “kereta api” itu ada di piano iringannya, di puisi @Eka Budianta Baru ini https://www.youtube.com/watch?v=hIJXRZoLQuQ .
Ini juga, coba dengarkan apa yg terjadi di piano saat ” memungut detik demi detik” https://www.youtube.com/watch?v=JRTeQTXzEfI .
Siapa takut dengan AI di dunia seni? Saya sih tidak. Saya lebih takut dengan Natural Stupidity. Jangan remehkan kebodohan dalam jumlah yang banyak, begitu katanya kan?